Kamis, 07 Maret 2013

Akar Bahasa & Sastra Arab


BANGSA ARAB: AKAR BAHASA DAN SASTRA ARAB

A.    Bahasa dan Bangsa Arab
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, yaitu bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar sungai Tigris dan Furat, dataran Syiria, dan jazirah Arabia (Timur Tengah). Seperti bahasa Siryania, Finisia, Assyiria, Babilonia, Ibrania, dan Arabia. Dari sekian bahasa di atas yang dapat bertahan sampai sekarang hanya bahasa Arab dan Ibrani. Diperkirakan bahwa bahasa Arab adalah cabang bahasa Semit yang paling mendekati bahasa aslinya, karena bangsa Arab tidak banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, dan tidak pernah lama di bawah kekuasaan bangsa asing.
Sebenarnya, bahasa Arab itu timbul sejak beberapa Abad sebelum Islam. Hanya saja pencatatan dari bahasa tersebut baru dimulai dua abad sebelum lahirnya Islam. Karena bukti peninggalan kesusastraan Arab yang dapat dicatat hanya dimulai sejak dua abad sebelum Islam. Sedangkan, hasil karya yang ada di masa sebelumnya dapat dikatakan hilang dimakan masa. Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti bagaimanakah bentuk bahasa Arab di masa lalu.
Demikian pula dengan berita-berita yang menerangkan keadaan bangsa Arab kuno, tidak dapat kita ketahui dari pencatatan sejarah. Hanya saja berita mengenai mereka dapat kita ketahui dari Al-Quran dan kitab suci lainnya, misalnya cerita mengenai kaum Aad, kaum Tsamud, kaum Nuh, dan lain-lain. Berita mengenai mereka hanya terdapat dalam kitab suci Al-Quran.
Menurut perkiraan yang kuat, keadaan bangsa Arab kuno, lebih maju dari pada bangsa Arab yang lahir di masa timbulnya Islam. Karena dalam penggalian sejarah, ditemukan bekas peninggalan monumental dan kota besar yang dibangun oleh bangsa Arab kuno. Pendapat ini dikuatkan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran. Sedangkan, bangsa Arab yang lahir di masa lahirnya Islam, mereka lebih dikenal sebagai bangsa Arab Badui (Nomaden), yang suka hidup berpindah-pindah mengikuti sumber kehidupan. Cara kehidupan seperti itu dapat membentuk karakter dan tabiat bangsa Arab seperti bangsa Barbar yang hidup ditempat lain.
Perlu diketahui bahwa sebelum bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan, di setiap daerah telah mempunyai bahasa daerah sendiri yang berlainan satu dengan yang lainnya. Seperti penduduk Yaman, mereka memiliki bahasa sendiri yang dikenal dengan bahasa Himyar, orang Nejed memiliki bahasa yang dipakai di Nejed saja, dan lainnya. Walaupun setiap suku Arab mempunyai bahasa yang saling berbeda, namun berkat adanya Ka’bah di Mekkah, dimana mereka sering berkumpul di tempat itu setiap tahunnya, akhirnya bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan yang dapat oleh setiap suku Arab.
Bahasa persatuan mereka adalah bahasa Mudlor yaitu bahasa yang dipakai oleh penduduk Hijaz, khususnya bahasa orang-orang Mekkah. Bahasa Mudlor itu juga berasal dari percampuran bahasa daerah yang ada di seluruh jazirah, ditambah dengan beberapa kata asing yang berasala dari bahasa Yunani, Persia, Sansekerta, dan Ibrani.
Sehingga, bahasa Mudlor inilah yang kelak dipilih menjadi bahasa Al-Quran dan As-Sunnah. Di mana berkat Al-Quran, maka bahasa Mudlor ini akan kekal dan dikenal di seluruh dunia Islam. Bangsa Arab terdiri dari tiga generasi, yaitu:
1.      Bangsa Arab al-Baidah yaitu bangsa Arab yang telah punah. Berita mengenai mereka yang sampai kepada kita tidak ada sedikit pun yang benar, kecuali yang dikisahkan Allah Swt dalam al-Quran dan yang banyak disebutkan dalam Hadist Nabi Saw. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal antara lain: Thasam, Jadis, ‘Ad, Tsamud, ‘Imliq, dan ‘Abdu Dakhm.
2.      Bangsa Arab al-‘Aribah, yaitu bangsa Arab murni, mereka adalah anak keturunan Qahthan, yang meninggalkan tempat asal mereka di sekitar sungai Euphrat, dan memilih Yaman sebagai tempat tinggal mereka. Bahasa mereka berbaur dengan bahasa pendahulu mereka di Yaman. Kemudian mereka menyebar ke berbagai pelosok Jazirah Arab. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Kahlan dan Himyar.
3.      Bangsa Arab al-Musta’ribah, yaitu bangsa Arab campuran. Mereka adalah anak keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. yang mengalahkan orang-orang Qahthan dan berbaur dengan mereka, baik dalam bahasa maupun dalam silsilah keturunan/nasab, yang kemudian dikenal dengan sebutan orang-orang Adnan. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Rabi’ah, Mudlar, Iyyad, da Anmar.
Selain ketiga generasi bangsa Arab yang telah disebutkan di atas, ada juga yang disebut bangsa Arab Baru, yaitu bangsa Arab yang merupakan anak keturunan dari kabilah-kabilah tersebut di atas yang berbaur dengan anak-anak dari kabilah-kabilah lain dari Samudera Atlantik sampai seberang Laut Persi dan Sungai Tigris, dan juga dari sebelah hulu sungai Euphrat dan Sungai Tigris sampai ke seberang laut Jawa dan Sumatera. Mereka berbicara dengan dialek-dialek bangsa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasaran) yang berbeda-beda yang dapat dikembalikan kepada bahasa Arab baku/fushha yang mereka ketahui melalui pembelajaran.
B.     Sastra Bahasa (Adabul Lughah)
Bahasa adalaألفاظٌ يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم (lafal yang diungkapkan oleh setiap kaum atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka (baik isi hati maupun pemikiran mereka).
Adapun sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah kata-kata indah yang mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut, yang diwariskan atau dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk mendidik jiwa, menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang mendefinisikan bahwa sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal, serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan mendidik jiwa, memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.
Terkadang kata “Adab” digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa. Sehingga kata “Adab” dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan, penulis, dan penyair atau sastrawan.
Kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy)  merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya menjadi bahasa suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang masuk ke dalam agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan bantuan rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu samudera, yaitu bahasa Arab.

C.    Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Sebagai sebuah istilah, kata “Adab” mengalami perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata “Adab” sejalan dengan perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata “Adab” terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan makna itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu tidak terlalu kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya kecenderungan pendengar pendengar pada pengucapan kata “Adab” tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah kata “Adab” berarti الدعوة إلى الطعام(mengajak makan atau undangan ke perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata  “Ma’dubah” dari akar kata yang sama yaitu “Adab”. Kata “Ma’dubah” berarti jamuan atau hidangan, dengan kata kerja “Adaba-ya’dibu” yang berarti menjamu atau menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa’illi:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى  ¤    لا ترى الآدب فينا ينتفر

“Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang diundang”
Kata “Adab” juga digunakan dalam arti “prilaku yang terpuji atau terhormat dan sifat-sifat yang mulia” seperti yang terdapat di dalam dialoq antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya tentang Abu Sufya n  yang datang melamarnya:
“… .بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه…”

“…. Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat kepada keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak menghormatinya….”.
Akhirnya Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:
“إنى لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة تلفتى…” 

 ”Sungguh, aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh dibelakangnya”.  
Seperti yang dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan Islam, ketika agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru kepada akhlak mulia, maka kata “Adab” berarti “الدعوة إلى المحامد ومكارم الأخلاق(ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti at-Tahdzib (pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:
“أدبنى ربّى فأحسن تأديبى…”

“Tuhanku telah mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak”
Beliau Saw juga bersabda:

“إن هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته”

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya”
Umar bin Khattab berkata kepada puteranya:
“يا بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك…”

“Wahai anakku, nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan menjadi lembut budi pekertimu”
Pada zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta’lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir kata turunan al-Mu’addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab, mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah.
Sementara pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata Adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta’liimu ma’an (pendidikan sekaligus pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti “Adab” pada masa ini lebih mengacu pada kebudayaan. Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya yang berhudul al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat panjang Ibn al-Muqaffa’ yang terbagi menjadi dua  bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik, dan pemerintahannya, dan yang berhubungan dengan persahabatan dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa’ yang berisi kumpulan wasiat mengenai budi pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam kehidupannya seperti bagaimana bergaul dengan atasan, bawahan, dan sesamanya. Selain itu, kata “Adab” telah meluas artinya dan sering diterapkan pada puisi, prosa, peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf, ushul, dan sebagainya.
Pada Abad ke-4 H, kata “Adab” semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang dari kata itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung nilai pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi sosial maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan intelektul sekaligus kehidupan material.  Kata “Adiib” yang berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata “mutsaqqif” yang berarti budayawan atau orang yang memiliki intelektual tinggi.
Dengan berakhirnya abad ke-4 H, seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra, kata “Adab” mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat didalamnya. Makna “Adab” yang demikian itu, masih dapat difahami dan digunakan pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa kata “Adab” memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata “Adab” dalam pengertian yang khusus berarti perkataan indah yang menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya, baik perkataan itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata “Adab” dalam pengertian umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis dalam buku-buku.
Puisi indah, essai yang memikat, orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang mengesankan, semua ini termasuk “Adab” dalam pengertian khusus, karena ketika kita membaca atau mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan seni seperti yang kita dapatkan ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi, alunan musik, serta ketika  kita melihat lukisan atau patung yang mempesona. Dengan demikian, maka “Adab” atau satra adalah sesuatu yang berhubungan dengan citrarasa, perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam referensi Barat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Adab” dalam pengertian literature adalah kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada bahasa dan bangsa tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya; Peninggalan yang berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam sebuah bahasa atau bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik tertentu, seperti adabul falak (tulisan tentang ilmu falak/penanggalan) atau adab az-Ziraa’at (tulisan tentang ilmu pertanian); atau sesuatu yang dihasilkan manusia dalam bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Nahwu, Sharf, filsafat, termasuk kata “Adab” dalam pengertian umum, karena itu merupakan gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan manusia, terlepas ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri kita atau tidak (Mahmud Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi, 1972, jilid I hal: 5-9).
Kemudian pertanyaan yan timbul adalah apakah hubungan antara kata Adab yang bermakna umum dengan kata Adab yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab memiliki tata cara tentang prilaku dan sikap yang harus diikuti oleh kelas masyarakat tertentu, seperti para bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis dalam bentuk karya sastra, seperti puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa), dan sebagainya. Berdasarkan konsep inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti yang lebih spesifik yaitu sastra (Bakalla, 1984:113).
Teeuw (1988, 21-24) mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanskerta. Akar kata sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran. Dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra. Kata yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam arti yang sempit, kata Adab berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su- berarti indah atau baik. Kata susastra ini tidak terdapat dalam bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, tetapi merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul kemudian. Kata Adab juga berarti kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa Arab disebut Tamaddun. Sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan Arab. Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai sastra.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar