BANGSA
ARAB: AKAR BAHASA DAN SASTRA ARAB
A. Bahasa dan Bangsa Arab
Bahasa
Arab termasuk rumpun bahasa Semit, yaitu bahasa yang digunakan oleh
bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar sungai Tigris dan Furat, dataran Syiria,
dan jazirah Arabia (Timur Tengah). Seperti bahasa Siryania, Finisia, Assyiria,
Babilonia, Ibrania, dan Arabia. Dari sekian bahasa di atas yang dapat bertahan
sampai sekarang hanya bahasa Arab dan Ibrani. Diperkirakan bahwa bahasa Arab
adalah cabang bahasa Semit yang paling mendekati bahasa aslinya, karena bangsa
Arab tidak banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, dan tidak pernah lama di
bawah kekuasaan bangsa asing.
Sebenarnya,
bahasa Arab itu timbul sejak beberapa Abad sebelum Islam. Hanya saja pencatatan
dari bahasa tersebut baru dimulai dua abad sebelum lahirnya Islam. Karena bukti
peninggalan kesusastraan Arab yang dapat dicatat hanya dimulai sejak dua abad
sebelum Islam. Sedangkan, hasil karya yang ada di masa sebelumnya dapat
dikatakan hilang dimakan masa. Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui
dengan pasti bagaimanakah bentuk bahasa Arab di masa lalu.
Demikian
pula dengan berita-berita yang menerangkan keadaan bangsa Arab kuno, tidak
dapat kita ketahui dari pencatatan sejarah. Hanya saja berita mengenai mereka
dapat kita ketahui dari Al-Quran dan kitab suci lainnya, misalnya cerita
mengenai kaum Aad, kaum Tsamud, kaum Nuh, dan lain-lain. Berita mengenai mereka
hanya terdapat dalam kitab suci Al-Quran.
Menurut
perkiraan yang kuat, keadaan bangsa Arab kuno, lebih maju dari pada bangsa Arab
yang lahir di masa timbulnya Islam. Karena dalam penggalian sejarah, ditemukan
bekas peninggalan monumental dan kota besar yang dibangun oleh bangsa Arab
kuno. Pendapat ini dikuatkan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran. Sedangkan,
bangsa Arab yang lahir di masa lahirnya Islam, mereka lebih dikenal sebagai
bangsa Arab Badui (Nomaden), yang suka hidup berpindah-pindah mengikuti sumber
kehidupan. Cara kehidupan seperti itu dapat membentuk karakter dan tabiat
bangsa Arab seperti bangsa Barbar yang hidup ditempat lain.
Perlu
diketahui bahwa sebelum bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan, di setiap
daerah telah mempunyai bahasa daerah sendiri yang berlainan satu dengan yang
lainnya. Seperti penduduk Yaman, mereka memiliki bahasa sendiri yang dikenal
dengan bahasa Himyar, orang Nejed memiliki bahasa yang dipakai di Nejed saja,
dan lainnya. Walaupun setiap suku Arab mempunyai bahasa yang saling berbeda,
namun berkat adanya Ka’bah di Mekkah, dimana mereka sering berkumpul di tempat
itu setiap tahunnya, akhirnya bangsa Arab mempunyai bahasa persatuan yang dapat
oleh setiap suku Arab.
Bahasa
persatuan mereka adalah bahasa Mudlor yaitu bahasa yang dipakai oleh penduduk
Hijaz, khususnya bahasa orang-orang Mekkah. Bahasa Mudlor itu juga berasal dari
percampuran bahasa daerah yang ada di seluruh jazirah, ditambah dengan beberapa
kata asing yang berasala dari bahasa Yunani, Persia, Sansekerta, dan Ibrani.
Sehingga,
bahasa Mudlor inilah yang kelak dipilih menjadi bahasa Al-Quran dan As-Sunnah.
Di mana berkat Al-Quran, maka bahasa Mudlor ini akan kekal dan dikenal di
seluruh dunia Islam. Bangsa Arab terdiri dari tiga generasi, yaitu:
1.
Bangsa Arab al-Baidah yaitu bangsa Arab yang telah punah. Berita mengenai
mereka yang sampai kepada kita tidak ada sedikit pun yang benar, kecuali yang
dikisahkan Allah Swt dalam al-Quran dan yang banyak disebutkan dalam Hadist
Nabi Saw. Di antara kabilah-kabilah mereka yang terkenal antara lain: Thasam,
Jadis, ‘Ad, Tsamud, ‘Imliq, dan ‘Abdu Dakhm.
2.
Bangsa Arab al-‘Aribah, yaitu bangsa Arab murni, mereka adalah anak keturunan
Qahthan, yang meninggalkan tempat asal mereka di sekitar sungai Euphrat, dan
memilih Yaman sebagai tempat tinggal mereka. Bahasa mereka berbaur dengan
bahasa pendahulu mereka di Yaman. Kemudian mereka menyebar ke berbagai pelosok
Jazirah Arab. Di antara induk kabilah-kabilah mereka adalah Kahlan dan Himyar.
3.
Bangsa Arab al-Musta’ribah, yaitu bangsa Arab campuran. Mereka adalah anak
keturunan Ismail bin Ibrahim a.s. yang mengalahkan orang-orang Qahthan dan
berbaur dengan mereka, baik dalam bahasa maupun dalam silsilah keturunan/nasab,
yang kemudian dikenal dengan sebutan orang-orang Adnan. Di antara induk
kabilah-kabilah mereka adalah Rabi’ah, Mudlar, Iyyad, da Anmar.
Selain
ketiga generasi bangsa Arab yang telah disebutkan di atas, ada juga yang
disebut bangsa Arab Baru, yaitu bangsa Arab yang merupakan anak keturunan dari
kabilah-kabilah tersebut di atas yang berbaur dengan anak-anak dari
kabilah-kabilah lain dari Samudera Atlantik sampai seberang Laut Persi dan
Sungai Tigris, dan juga dari sebelah hulu sungai Euphrat dan Sungai Tigris
sampai ke seberang laut Jawa dan Sumatera. Mereka berbicara dengan
dialek-dialek bangsa Arab ‘Amiyah (bahasa Arab pasaran) yang berbeda-beda yang
dapat dikembalikan kepada bahasa Arab baku/fushha yang mereka ketahui melalui
pembelajaran.
B. Sastra Bahasa (Adabul Lughah)
Bahasa
adalaألفاظٌ
يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم (lafal yang diungkapkan oleh setiap
kaum atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka (baik isi hati maupun
pemikiran mereka).
Adapun
sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah kata-kata indah yang
mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut, yang diwariskan atau
dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk mendidik jiwa,
menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang mendefinisikan bahwa
sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran
seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal, serta batas
kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan mendidik jiwa,
memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.
Terkadang
kata “Adab” digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah
dan cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa. Sehingga kata
“Adab” dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran
para ilmuan, penulis, dan penyair atau sastrawan.
Kesusastraan
Arab (al-Adab al-Arabiy) merupakan kesusastraan terkaya, karena
merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai
runtuhnya kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya
menjadi bahasa suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang
masuk ke dalam agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan
makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan bantuan
rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan
membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan
setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan
orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari
bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh
menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia
menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah
dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari
setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa
dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang
mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu
samudera, yaitu bahasa Arab.
C. Pengertian Adab dari Masa ke Masa
Sebagai
sebuah istilah, kata “Adab” mengalami perkembangan yang cukup panjang dalam
sejarah kesusastraan Arab. Perkembangan kata “Adab” sejalan dengan perkembangan
kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab Badui sampai
masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata “Adab” terdapat
banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan makna itu sangat dekat,
maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu tidak terlalu kontras dengan
makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang melalui perkataan-perkataan
dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya kecenderungan pendengar
pendengar pada pengucapan kata “Adab” tersebut.
Pada
zaman Jahiliyyah kata “Adab” berarti “الدعوة إلى الطعام” (mengajak makan atau undangan ke
perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata “Ma’dubah”
dari akar kata yang sama yaitu “Adab”. Kata “Ma’dubah” berarti jamuan atau
hidangan, dengan kata kerja “Adaba-ya’dibu” yang berarti menjamu atau
menghidangkan makanan. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin
Abdul Bakri al-Wa’illi:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى
¤ لا ترى الآدب فينا ينتفر
“Pada musim
paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke perjamuan
makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih
orang yang diundang”
Kata “Adab” juga digunakan dalam arti “prilaku yang terpuji atau
terhormat dan sifat-sifat yang mulia” seperti yang terdapat di dalam dialoq
antara ‘Atabah dengan Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya
tentang Abu Sufya n yang datang melamarnya:
“… .بدر أرومته
وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه…”
“….
Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat kepada
keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak menghormatinya….”.
Akhirnya
Hindun pun setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:
“إنى لأخلاق هذا
لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة تلفتى…”
”Sungguh,
aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju
menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan
kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh
dibelakangnya”.
Seperti
yang dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada
zaman Pemulaan Islam, ketika agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya
yang menyeru kepada akhlak mulia, maka kata “Adab” berarti “الدعوة إلى المحامد ومكارم
الأخلاق” (ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti
at-Tahdzib (pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti
yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:
“أدبنى ربّى
فأحسن تأديبى…”
“Tuhanku telah
mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak”
Beliau
Saw juga bersabda:
“إن هذا القرآن
مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته”
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu
belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya”
Umar
bin Khattab berkata kepada puteranya:
“يا بنى انسب
نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك…”
“Wahai anakku,
nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung
hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan
menjadi lembut budi pekertimu”
Pada
zaman Umayyah, kata Adab mempunyai arti at-Ta’lim (pengajaran), sehingga dari
kata itu lahir kata turunan al-Mu’addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang
masa itu bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah
orang-orang Arab, mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa
yang mereka alami di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada
putera-putera khalifah.
Sementara
pada zaman Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan,
kata Adab mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta’liimu ma’an (pendidikan sekaligus
pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia
dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti
“Adab” pada masa ini lebih mengacu pada kebudayaan.
Seperti yang pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya
yang berhudul al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat
panjang Ibn al-Muqaffa’ yang terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik, dan pemerintahannya, dan yang berhubungan
dengan persahabatan dan sejenisnya. Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan
surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa’ yang berisi kumpulan wasiat mengenai budi
pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa yang harus dipersiapkan oleh manusia
dalam kehidupannya seperti bagaimana bergaul dengan atasan, bawahan, dan
sesamanya. Selain itu, kata “Adab” telah meluas artinya dan sering diterapkan
pada puisi, prosa, peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu
nahwu, sharf, ushul, dan sebagainya.
Pada
Abad ke-4 H, kata “Adab” semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang
dari kata itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung
nilai pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi
sosial maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki
keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan
intelektul sekaligus kehidupan material. Kata “Adiib” yang berarti
satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata “mutsaqqif” yang
berarti budayawan atau orang yang memiliki intelektual tinggi.
Dengan
berakhirnya abad ke-4 H, seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra,
kata “Adab” mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam
bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan
penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat
didalamnya. Makna “Adab” yang demikian itu, masih dapat difahami dan digunakan
pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa kata “Adab”
memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata “Adab” dalam pengertian yang
khusus berarti perkataan indah yang menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa
pembaca atau pendengarnya, baik perkataan itu berbentuk puisi maupun prosa.
Kedua, kata “Adab” dalam pengertian umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang
dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis dalam buku-buku.
Puisi
indah, essai yang memikat, orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang
mengesankan, semua ini termasuk “Adab” dalam pengertian khusus, karena ketika
kita membaca atau mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan seni seperti
yang kita dapatkan ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi, alunan musik,
serta ketika kita melihat lukisan atau patung yang mempesona. Dengan
demikian, maka “Adab” atau satra adalah sesuatu yang berhubungan dengan
citrarasa, perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam referensi Barat
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Adab” dalam pengertian literature adalah
kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada bahasa dan bangsa
tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya; Peninggalan yang
berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam sebuah bahasa atau
bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik tertentu, seperti
adabul falak (tulisan tentang ilmu falak/penanggalan) atau adab az-Ziraa’at
(tulisan tentang ilmu pertanian); atau sesuatu yang dihasilkan manusia dalam
bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Nahwu, Sharf, filsafat,
termasuk kata “Adab” dalam pengertian umum, karena itu merupakan gambaran atau
konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan manusia, terlepas ketika
membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri kita atau tidak (Mahmud
Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi, 1972, jilid I hal: 5-9).
Kemudian
pertanyaan yan timbul adalah apakah hubungan antara kata Adab yang bermakna
umum dengan kata Adab yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab memiliki tata
cara tentang prilaku dan sikap yang harus diikuti oleh kelas masyarakat
tertentu, seperti para bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis dalam bentuk
karya sastra, seperti puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa), dan
sebagainya. Berdasarkan konsep inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti yang
lebih spesifik yaitu sastra (Bakalla, 1984:113).
Teeuw
(1988, 21-24) mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari
bahasa sanskerta. Akar kata sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi
petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana.
Sehingga kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau
buku pengajaran. Dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya
bertepatan dengan sastra. Kata yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam
arti yang sempit, kata Adab berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su-
berarti indah atau baik. Kata susastra ini tidak terdapat dalam bahasa
Sanskerta dan Jawa Kuno, tetapi merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul
kemudian. Kata Adab juga berarti kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa
Arab disebut Tamaddun. Sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah
yang umum dalam kebudayaan Arab. Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang
Arab mengenai sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar