Kamis, 07 Maret 2013

Sastra Arab Jahiliyyah


BAB IV
SASTRA ARAB JAHILIYYAH

A.    Kedudukan Penyair Dalam Masyarakat Arab Jahiliyah
Bangsa Arab sangat gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair mempunyai kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat, manakala ia telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui gubahan syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu tatanan dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai  banyak fungsi, diantaranya :
1.      Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan berperang, sehingga  diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan penyair lewat syairnya mampu mempengaruhi  jiwa dan semangat pasukan yang  berperang diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang gemilang.
2.      Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau  diangkat sebagai ketua adat, atau  kepala kabilah. Bila seorang penyair  telah mempunyai status social yang tinggi, syair-syairnya popular dan terkenal, maka penyair ini akan lebih mudah mempengaruhi  jiwa  sipemilih  sehingga diharapkan akan mendapat perolehan suara yang terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair itu.
3.      Seringkali  terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan waktu  yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian lainnya yang telah  mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami kebuntuan dalam mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa syairnya, seorang penyair  dalam melantunkan syairnya,, ia mampu mempengaruhi kubu-kubu yang sedang bertikai. Berbagai pergolakan  dalam konflik dapat dilumpuhkan dengan cara  memberikan gambaran -gambaran kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat, memberikan penjelasan-penjelasan dari suatu kerugian yang diakibatkan peperangan dan lain sebagainya.
Bangsa Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum, keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu. Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau bangsa lain.
Bagi bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah, ia mengatakan:
“Biasanya setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah seorang pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan penyair itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluakan kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan kepada kuda kesayangan”
Bangsa Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga seringkali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang agar dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Adapula yang menggunakan mereka sebagai perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar kedatangan al-A’sya seorang penyair Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A’sya ke rumahnya. Setelah al-A’sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A’sya. Penyair ini sangat heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak beberapa lama banyak orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A’sya seperti dibawah ini:
ارقت وما هذا السّهاد المؤرّق # وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها # وبات على الناّر النّدى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم داج عوض لا تتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما زان متن الهند وانى رونق
يداه يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا ما ضنّ بالمال تنفق
“Aku tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta”
“Sungguh banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu”
“Api itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam”
“Di malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu”
“Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan”
“Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma”
Dalam riwayat lain diceritakan. ketika al-A’sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy. Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A’sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:

والله لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له مائة من الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى ورجع…
“Demi Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad”.
Kemudian, saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A’sya mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:

فآليت لا أرنى لها من كلالة # ولا من وجيّ حتى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب هاشم # تراحى وتلقى من فواضله ندا
نبىّ يرى مالا ترون وذكره # أغار لعمرى فى البلاد وأنجدا
له صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء اليوم يمنعه غدا
“Demi Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad”
“Nanti jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah”
“Seorang Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed”
“Pemberiannya tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah pemberiannya di hari esok”


Kisah-kisah seperti yang disebutkan di atas, merupakan sedikit dari banyaknya kisah yang dapat memberikan keterangan kepada kita mengenai betapa besar peranan seorang penyair dalam kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak saja berhenti pada masa Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair memiliki peranan yang cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan serangan mereka terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata (peperangan). Bahkan mereka juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan menjelek-jelekan Islam. Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga mempersiapkan penyair Islam untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw sangat menyukai puisi para penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka’ab bin Malik, dan Hassan bin Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib dan Ibnu Asakir, bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk membalas ejekan kaum musyrikin Quraisy;
روي الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح فحارب أنت باللسان
“Balaslah ejekan kaum musyrikin itu, semoga Jibril selalu menyertaimu. Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka berjuanglah kamu dengan lisanmu (kepandaian syairmu)”.
Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa peranan penyair dalam kehidupan bangsa Arab sangat tinggi, sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat gemar terhadap puisi.
Kedudukan puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah. Sebuah karya puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab Jahiliyyah  juga diakui, atau setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh Islam. Salah satu surat dalam al-Quran bahkan bernama asy-Syu’ara (para penyair).
Puisi tidak jarang menjadi rujukan umum dalam berbagai kesempatan dan penyairnya sering dijadikan sebagai ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan kata-kata konotatif (kalimat musytarak) dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw, para ulama sering menggunakan kata-kata yang terdapat dalam puisi sebagai penguat atau perbandingan dalam mengartikan kata-kata konotatif itu.

B.     Perhatian Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Sastra Bahasa
Kehidupan masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan “kemah”, alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India, dan Romawi.
Sebenarnya sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab, sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah, atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa’ (ratapan), ode (pujian), satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup tertentu.
Genre sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi’r/syair di samping sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi’r dan prosa. Dibandingkan dengan jenis sastra Syi’r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi’r/puisi yang telah “dicatat” dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau “pencatat benak”, tanpa harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi’r merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal, sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi’r lebih berdimensi psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi’r dan silsilah para tokoh dari setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi’r itu bisa terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi’rArab Jahiliyyah itu yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak buahnya saja.
Sumber kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Pada umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan dalam perjalanan.
Dan telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu’lu’ (permata), Wardah (mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna, karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu, nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi’r daripada prosa, karena Syi’r lebih mudah dihafal.
Di samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari pengalaman sehari-hari.
Telah menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri. Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat, sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga akhir zaman.
Selain bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok, Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi (imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang indah.
Di sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
1.      Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir, dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka menangkan.
2.      Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya.
3.      Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan nenek moyang mereka.
Selain faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding Ka’bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya, kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh beberapa generasi mendatang.
Demikianlah seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang. Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan bangsa dan bahasa Arab.
Bahasa dan kandungan Syi’r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi, dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa Syi’r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syi’r seperti ini digubah dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi’r imajiner adalah kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang penyair. Dari sudut gaya, Syi’r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama, ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya untuk kepentingan ritme dan sajak.
C.    Faktor-Faktor Yang Mendorong Perkembangan Sastra Jahiliyah
Kondisi geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim (1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi’r jahily terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui, kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan. Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan. Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.
Selain faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1.      Pasar (al-Aswaq)
Menurut Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.
Ukaz adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa’dah. Kemudian pasar majannah, yang dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa’dah, sedangkan pasar Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa’dah sampai dengan tanggal 8, saat hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram. Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan 10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza’ah, dan ‘Adhal”. Al-Idrisi menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.
Pasar Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal 20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir. Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar, hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu, layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.
Kemudian mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif, sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya. Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain. Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).
Haji adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy. Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas laut, seperti: Aden, Shan’a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Fungsi pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera, parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan orang-orang yang kaya.
Pasar-pasar itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar, bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan persoalan yang ada sejak dahulu. “Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik, dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku”. Pasar-pasar tersebut juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat festival sastra (Karim, 2002: 294).
Secara praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap Syi’r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi’r mu’allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan mendengarkan Syi’r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba’ juga mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa’adah al-Iyadi yang telah penulis sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn Sa’adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.
Hal itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba’ berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi’r dan berkhotbah. Para sejarawan menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan Syi’rnya, diantaranya; Khansa’ binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain. Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).
2.      Ayyam al-‘Arab
Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan “hari-hari orang Arab” (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang – orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.
Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).
Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi’r Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi’r-Syi’r hija’nya yang pedas. Syi’r-Syi’r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti Syi’r-Syi’rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.

D.    Tingkatan Penyair Jahiliyah
Para ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para penyair tersebut, yaitu:
1.      Jahiliyun; Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru’ul Qais, Zuhair ibn Abi Sulma.
2.      Mukhadhramun; Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan Islam, seperti: Khansa’, Hassan ibn Tsabit.
3.      Islamiyyun; Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang tradisi Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.
4.      Muwalladun; mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.
Bila ditinjau dari segi kualitas puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke dalam tiga tingkatan:
1.      Tingkat pertama: Imru’ul Qais, Zuhair, Nabighah
2.      Tingkat kedua: al-A’sya, Labid, Tharfah.
3.      Tingkat ketiga: ‘Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.
Beberapa ahli bahasa dan sastra sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64) membagi penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:
1.      Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
  • Penyair Sha’alik : Syanfara, Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
  • Ghair Sha’alik : Muhalhil, Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.
2.      Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru’ul Qais
3.      Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn ‘Abd, Abid ibn al-Abrash, An-Nabighah adz-Dzibyani, al-A’sya al-Akbar, al-Huthai’ah.
4.      Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi’ah.
5.      Penyair al-Madzahib: As-Samau’ell, ‘Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi ash-Shullt.
6.      Penyair-penyair perempuan: al-Khansa’.

E.     Karakteristik Syi’r Jahiliyyah
Pada umumnya karakteristik syi’r Jahiliyyah adalah terletak pada corak pemikirannya yang terbatas, sesuai dengan corak kehidupan mereka yang sangat sederhana. Hanya saja kebanyakan penyair masa ini lebih banyak menyandarkan pada daya khayal yang ada ditambah dengan pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karena itu, jika kita hendak menilai keadaan suatu syi’r Jahiliyyah, maka kita tidak dapat terlepas dari keadaan penyair itu sendiri.
Corak pemikiran yang sederhana ini dikarenakan mereka belum banyak mengenal kebudayaan yang tinggi atau mendapat pengaruh dari bangsa lain. Kehidupan mereka hanya terbatas dalam kehidupan Baduwi yang penuh dengan dunia pengembaraan, peperangan, dan hidup bebas dari segala hukum dan ikatan undang-undang.
Karakteristik yang paling menonjol pada syi’r Arab Jahiliyyah adalah karakter yang mengedepankan sifat kejantanan dan kepahlawanan, menceritakan segala macam pengalaman yang baik maupun yang buruk, menggunakan bahasa yang indah, pemilihan kata-kata yang ringkas tetapi mengandung makna yang dalam.

F.     Al-Mu’allaqat
Masyarakat Jahiliyyah sering mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada festival sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi pada zaman Jahiliyyah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah Yanbu’, dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah, antara Nakhlah dan Tha’if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.
Di pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi. Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding Ka’bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu’allaqat (puisi-puisi yang digantungkan pada dinding Ka’bah).
Sastra puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi al-Mu’allaqat. Dinamakan al-Mu’allaqat, karena puisi-puisi tersebut digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada zaman Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu pada dinding Ka’bah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang penting, pasti akan digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada masa Rasulullah SAW, pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka’bah.
Puisi al-Mu’allaqat berbentuk qasidah  (ode) panjang, dan memiliki tema bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang Arab Jahiliyyah. Selain memiliki sebutan al-Mu’allaqat, puisi-puisi yang digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:
1.      As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah, rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah berbentuk seperti kalung yang tergantung pada dada wanita.
2.      Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah ditulis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari emas.
3.      Al-Qasha’id al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut adalah puisi-puisi terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.
4.      As-Sab’u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut terdiri dari tujuh buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut ada tujuh buah.
5.      Al-Qasha’id al-Tis’u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.
6.      Al-Qasha’id al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.
Sejarah sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu’allaqat, yaitu Umru al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah adz-Dzibyani, al-A’sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi’ah al-Amiri, Amr bin Kultsum at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin ash-Shalt.
Penyair Jahiliyyah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar dan masuk Islam), Adi bin Rabi’ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil), Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).

1 komentar:

  1. Assalamualaikum . boleh saya tahu sumber di ambil dri mana? saya ingin buat rujukan . terima kasih :)

    BalasHapus