BAB
IV
SASTRA
ARAB JAHILIYYAH
A. Kedudukan Penyair Dalam Masyarakat
Arab Jahiliyah
Bangsa
Arab sangat gemar menggubah syair, mereka memandang bahwa setiap penyair mempunyai
kedudukan yang sangat penting dan terhormat di dalam masyarakat, manakala ia
telah mampu mengangkat derajat kaumnya atau kabilahnya melalui gubahan
syair-syairnya. Mengingat perannya yang begitu penting dalam suatu tatanan
dalam masyarakat jahili, maka para penyair mempunyai banyak fungsi,
diantaranya :
1.
Sebagai pemberi semangat, dorongan dan motifasi kepada pasukan yang akan
berperang, sehingga diharapkan dorongan dan motifasi yang dikobarkan
penyair lewat syairnya mampu mempengaruhi jiwa dan semangat pasukan
yang berperang diharapkan nantinya akan mendapatkan kemenangan yang
gemilang.
2.
Sebagai Pemberi dukungan terhadap kontestan yang akan dipilih atau
diangkat sebagai ketua adat, atau kepala kabilah. Bila seorang
penyair telah mempunyai status social yang tinggi, syair-syairnya popular
dan terkenal, maka penyair ini akan lebih mudah mempengaruhi jiwa
sipemilih sehingga diharapkan akan mendapat perolehan suara yang
terbanyak bagi kontestan yang diunggulkan penyair itu.
3.
Seringkali terjadi antar kabilah itu berperang, dan selalu memakan
waktu yang cukup lama, korban yang tidak sedikit, kerugian-kerugian
lainnya yang telah mereka terima, kemudian, acapkali sering mengalami
kebuntuan dalam mencari jalan penyelesaiannya. Maka dengan kefasihan bahasa
syairnya, seorang penyair dalam melantunkan syairnya,, ia mampu
mempengaruhi kubu-kubu yang sedang bertikai. Berbagai pergolakan dalam
konflik dapat dilumpuhkan dengan cara memberikan gambaran -gambaran
kenyamanan jiwa yang damai, nasihat-nasihat, memberikan penjelasan-penjelasan
dari suatu kerugian yang diakibatkan peperangan dan lain sebagainya.
Bangsa
Arab adalah bangsa yang amat senang terhadap puisi, karena itu mereka memandang
para penyair sebagai orang yang memiliki kedudukan penting dalam masyarakat.
Hal ini dapat dimaklumi karena seorang penyair dapat membela kehormatan kaum,
keluarga, atau bangsanya. Bila di dalam sebuah kaum atau bangsa mereka
menemukan seorang pemuda yang pandai dalam mencipta dan menggubah puisi, maka
pemuda tersebut akan dimuliakan oleh seluruh anggota kabilah dari suku itu.
Karena mereka beranggapan bahwa pemuda itu pasti akan menjadi tunas yang akan
membela kaum atau bangsa dari segala serangan dan ejekan dari penyair kaum atau
bangsa lain.
Bagi
bangsa Arab, para penyair memiliki kedudukan yang tinggi, keputusan yang
dikeluarkan oleh seorang penyair akan selalu dilaksanakan. Bagi mereka seorang
penyair merupakan penyambung lidah yang dapat mengungkapkan kebanggaan dan
kemuliaan mereka. Ibnu Rasyik meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul ‘Umdah,
ia mengatakan:
“Biasanya
setiap kabilah bangsa Arab yang mendapatkan seorang pemuda yang dapat merangkum
sebuah gubahan puisi, maka anggota kabilah itu berdatangan untuk memberi ucapan
selamat, dan mereka menyediakan berbagai aneka macam makanan. Sementara kaum
wanita pun ikut berdatangan sambil memainkan rebana seperti yang biasa mereka
mainkan dalam sebuah acara perkawinan. Kaum laki-laki, baik yang tua maupun
yang muda, sama-sama bergembira. Karena mereka beranggapan bahwa penyair adalah
seorang pembela kabilah dari serangan dan ejekan penyair dari kabilah lain, dan
penyair itu pasti akan menjaga nama baik kabilahnya sendiri, yang akan
mengabadikan kebanggaan-kebanggaan mereka dan yang akan menyebarluakan
kebaikan-kebaikan mereka. Kebiasaan tidak memberikan sambutan hangat, kecuali
kepada anak bayi yang baru dilahirkan ibunya, kepada seorang penyair, dan
kepada kuda kesayangan”
Bangsa
Arab telah menganggap betapa pentingnya peranan seorang penyair. Sehingga
seringkali mereka mengiming-imingi seorang penyair yang dapat memberikan
semangat dalam perjuangan dengan memberikan sokongan suara bagi seseorang agar
dapat diangkat sebagai kepala kabilah. Adapula yang menggunakan mereka sebagai
perantara untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi antara kabilah, bahkan ada
juga yang menggunakan penyair untuk memintakan maaf dari seseorang penguasa.
Dalam
suatu riwayat diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama
Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh
dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar
kedatangan al-A’sya seorang penyair Arab Jahiliyyah yang terkenal ke kota
Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk mengundang al-A’sya ke
rumahnya. Setelah al-A’sya datang ke rumah miskin itu, maka isterinya memotong
seekor unta untuk menjamu al-A’sya. Penyair ini sangat heran dengan
kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia langsung
pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan
kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia
membacakan puisi itu, sehingga dalam waktu yang tidak beberapa lama banyak
orang yang datang meminang ketiga puteri Muhallik. Adapun bait puisi yang
diucapkan al-A’sya seperti dibawah ini:
ارقت وما هذا السّهاد المؤرّق # وما
بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة # إلى ضوء
نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها # وبات على
الناّر النّدى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما # باسحم
داج عوض لا تتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه # كما
زان متن الهند وانى رونق
يداه يدا صدق فكفّ مبيدة # وكفّ إذا
ما ضنّ بالمال تنفق
“Aku tidak
dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta”
“Sungguh banyak
mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu”
“Api
itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di
malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam”
“Di
malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu”
“Kamu
lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan”
“Kedua
tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk
berderma”
Dalam
riwayat lain diceritakan. ketika al-A’sya mendengar diutusnya Nabi Muhammad Saw
dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair ini sengaja datang ke kota
Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah dipersiapkan untuk memuji Nabi
Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik ini dapat digagalkan oleh pemuka
bangsa Quraisy. Ketika Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A’sya, Abu Sufyan
langsung berkata kepada para pemuka Quraisy:
والله لئن أتى محمدا أو اتبعه ليضرّ
منّ عليكم نيران العرب بشعره, فاجمـعوا له مائة من الإبل, ففعلوا وأخذها الأعشى
ورجع…
“Demi
Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan
mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum itu
terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar tidak pergi
menemui Muhammad”.
Kemudian,
saran Abu Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A’sya
mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah
dipersiapkan olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini:
فآليت لا أرنى لها من كلالة # ولا من
وجيّ حتى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب هاشم # تراحى
وتلقى من فواضله ندا
نبىّ يرى مالا ترون وذكره # أغار
لعمرى فى البلاد وأنجدا
له صدقات ما تغب ونائل # وليس عطاء
اليوم يمنعه غدا
“Demi Allah,
onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit kakinya
sebelum dapat bertemu dengan Muhammad”
“Nanti jika kau
telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan akan
mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah”
“Seorang
Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan
namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed”
“Pemberiannya
tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah
pemberiannya di hari esok”
Kisah-kisah
seperti yang disebutkan di atas, merupakan sedikit dari banyaknya kisah yang
dapat memberikan keterangan kepada kita mengenai betapa besar peranan seorang
penyair dalam kehidupan masyarakat Arab. Peranan penyair ini tidak saja
berhenti pada masa Jahiliyyah. Bahkan dalam penyiaran modern ini, penyair
memiliki peranan yang cukup besar. Karena orang-orang Quraisy dalam melancarkan
serangan mereka terhadap Islam tidak terbatas hanya dengan senjata
(peperangan). Bahkan mereka juga menggunakan lidah penyair untuk menyerang dan
menjelek-jelekan Islam. Untuk menghadapi hal ini, Nabi Muhammad Saw juga
mempersiapkan penyair Islam untuk menghadapi ejekan orang kafir. Nabi Saw
sangat menyukai puisi para penyair Islam, seperti Abdullah bin Ruwaihah, Ka’ab
bin Malik, dan Hassan bin Tsabit. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Khattib
dan Ibnu Asakir, bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan Hassan bin Tsabit untuk
membalas ejekan kaum musyrikin Quraisy;
روي الخطيب وابن عساكر عن حسّان إنّ
النبى صلّى عليه وسلّم قال له : اهج المشركين وجبريل معك إذا حارب اصحابي بالسّلاح
فحارب أنت باللسان
“Balaslah
ejekan kaum musyrikin itu, semoga Jibril selalu menyertaimu. Jika para
sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka berjuanglah kamu dengan
lisanmu (kepandaian syairmu)”.
Dari
gambaran di atas dapat kita simpulkan bahwa peranan penyair dalam kehidupan
bangsa Arab sangat tinggi, sebab bangsa Arab merupakan bangsa yang sangat gemar
terhadap puisi.
Kedudukan
puisi dan penyairnya sangat tinggi di mata orang Arab Jahiliyyah. Sebuah karya
puisi dapat mempengaruhi, bahkan mengubah sikap atau posisi seseorang atau
sekelompok orang terhadap sikap atau posisi orang dan kelompok lainnya. Para
penyair, dengan demikian juga berfungsi sebagai agen perubahan sosial dan
perubahan kebudayaan. Kedudukan atau pengaruh sedemikian ini hanya dapat
ditandingi oleh para politisi tingkat tinggi di zaman modern ini. Kekuatan
penyair bersumber dari kekuatan isi karyanya. Kedudukan puisi Arab
Jahiliyyah juga diakui, atau setidak-tidaknya diberi kesaksian, oleh
Islam. Salah satu surat dalam al-Quran bahkan bernama asy-Syu’ara (para
penyair).
Puisi
tidak jarang menjadi rujukan umum dalam berbagai kesempatan dan penyairnya
sering dijadikan sebagai ensiklopedi berjalan. Untuk menafsirkan kata-kata
konotatif (kalimat musytarak) dalam al-Quran atau hadits Nabi Saw, para ulama
sering menggunakan kata-kata yang terdapat dalam puisi sebagai penguat atau
perbandingan dalam mengartikan kata-kata konotatif itu.
B. Perhatian Masyarakat Jahiliyyah
Terhadap Sastra Bahasa
Kehidupan
masyarakat Arab pra-Islam atau masyarakat zaman Jahiliyyah dapat dilihat dalam
karya sastra yang merupakan produk zaman itu, karena sastra Arab Jahiliyyah
adalah cerminan langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab zaman
Jahiliyyah tersebut, dari hal-hal yang bersifat pribadi sampai persoalan
masyarakat umum. Dalam wacana kesusastraan Arab ini tergambar jelas kehidupan
“kemah”, alam sekitar, masyarakat, budaya, dan peradaban, baik yang masih murni
maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India,
dan Romawi.
Sebenarnya
sastra Arab Jahiliyyah berakar jauh sekali, bahkan pada masa-masa ribuan tahun
sebelum Islam muncul. Akan tetapi, dalam catatan sejarah kesusastraan Arab,
sastra Jahiliyyah dikenal sejak kira-kira satu abad menjelang Islam lahir
sampai tahun pertama Hijriah. Hanna al-Fakhuri, seorang kritikus dan sastrawati
dari Libanon, mengatakan bahwa sastra Jahiliyyah baru mulai (dianggap) ada pada
akhir abad ke-5 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-6.
Pada
umumnya kesusastraan Arab Jahiliyyah mendeskripsikan keberadaan kemah[1] , hewan sebagai kendaraan tunggangan, kehidupan mewah para
bangsawan agar dengan begitu para pujangga mendapatkan imbalan materi dan
pujian tertentu, alam sekitar, keberanian seseorang atau sekelompok kabilah,
atau kecantikan seorang wanita pujaan. Hal lain yang menjadi tujuan atau
kecenderungan sastra Arab Jahiliyyah adalah ritsa’ (ratapan), ode (pujian),
satire (serangan terhadap kabilah tertentu), fakhr (kebanggaan kelompok
tertentu), anggur sebagai lambang eksentrik para sastrawan atau untuk kebanggaan
memiliki suasana trance (keadaan tak sadarkan diri). Akan tetapi, deskripsi
dalam sastra tersebut senantiasa diselipi dengan nasihat atau filsafat hidup
tertentu.
Genre
sastra Arab Jahiliyyah yang paling populer adalah jenis Syi’r/syair di samping
sedikit amtsal (semacam pepatah atau kata-kata mutiara), dan pidato pendek yang
disampaikan oleh para pujangga yang disebut sebagai prosa liris. Dan semua itu
dihapal di luar kepala secara turun-temurun.
Dalam
sastra Jahiliyyah, terdapat perbedaan antara Syi’r dan prosa. Dibandingkan
dengan jenis sastra Syi’r, sastra prosa Jahiliyyah tercatat dalam sejarah
sastra lebih terbelakang. Hal itu disebabkan karena sastra prosa lebih
membutuhkan kepandaian menulis atau pentadwinan (pengumpulan), sementara
keterampilan menulis baru dikuasai oleh orang Arab pada masa-masa belakangan
setelah Islam lahir. Dan hal ini tidak terjadi pada Syi’r/puisi yang telah
“dicatat” dalam ingatan para ruwat, pencerita, atau “pencatat benak”, tanpa
harus mencatatnya dalam pengertian yang sebenarnya. Di samping itu, Syi’r
merupakan bahasa wujdan, emosi, dan imajinasi yang sifatnya lebih personal,
sedangkan prosa lebih merupakan bahasa intelek, dan juga prosa lebih cenderung
ke hal-hal yang bersifat kolektif. Dengan kata lain, sastra Syi’r lebih berdimensi
psikologis, sementara sastra prosa lebih bersifat sosiologis.
Para
ruwat, pencerita, merupakan para penghapal Syi’r dan silsilah para tokoh dari
setiap kabilah Arab. Dengan begitu kelangsungan transmisi sastra Syi’r itu bisa
terjaga dari generasi ke generasi. Diantara para pencerita yang dipandang
memiliki hapalan paling kuat dari suku Quraisy pada masa Jahiliyyah adalah
Mukhrimah bin Naufal dan Khuwaitib bin Abdul Uzza.
Menurut
dugaan para sejarawan sastra Arab lama, hanya sedikit Syi’rArab Jahiliyyah itu
yang dapat direkam sejarah. Karya yang tidak tertulis dan kemudian hilang jauh
lebih banyak. Hal itu disebabkan bahwa sebagian tersebut tidak sempat dikenal
kemudian dihafal, sementara yang telah dihafal oleh sastrawan lain juga hilang
bersamaan dengan meninggalnya mereka.
Bentuk
semenanjung Arab memanjang tidak sama ukurannya. Sebelah utara berbatasan
dengan Palestina dan dataran Syam, sebelah timur berbatasan dengan dataran Irak
dan teluk Persia, sebelah selatan berbatasan dengan lautan Hindia, dan sebelah
barat berbatasan dengan Laut Merah. Jika ditinjau dari segi letak geografisnya
Jazirah Arab memang sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga
jurusan, ditambah dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri sehingga kedua
faktor inilah yang dapat melindungi jazirah itu dari serangan pihak luar.
Apabila
kita mengikuti keadaan gambaran Jazirah Arab, akan kita dapatkan bahwa dataran
ini sangat mengerikan sekali. Karena dataran yang luas itu tidak ada sumber
mata air yang cukup. Curah hujan yang turun boleh dikatakan hanya sedikit
sekali, hampir seluruh tanahnya diliputi gunung batu dan pasir yang membentang
luas. Di tambah lagi dengan suhu udara yang amat panas, sehingga tanah yang
luas itu sukar untuk ditumbuhi oleh tanaman, kecuali daerah-daerah seprti
Yaman, Thaif, dan Madinah. Oleh karena itu, tidak heran apabila tanah Arab
boleh dikatakan tidak pernah di datangi oleh penjajah asing, karena mereka
segan untuk tinggal di daerah yang amat mengerikan itu.
Keadaan
Jazirah Arab yang demikian itu, menjadikan bangsa Arab mempunyai watak dan
rabiat yang keras dan tidak pernah takut kepada siapa pun , kecuali kepada
kepala suku mereka sendiri. Dari sini, kita ketahui bahwa mereka tidak pernah
bersatu dengan suku lain kecuali bila terjadi tali persahabatan. Kesenangan
mereka hanya terbatas untuk kepentingan suku mereka saja. Seorang kepala suku
akan bertindak seperti raja yang akan bertanggung jawab hanya kepada anak
buahnya saja.
Sumber
kehidupan bangsa Arab adalah berdagang, karena tanah mereka sukar untuk
ditanami. Walaupun demikian, ada juga beberapa daerah yang sumber kehidupannya
dari bercocok tanam, seperti daerah Yaman, karena daerah ini terletak dekat
katulistiwa. Selain itu, ada juga daerah yang sangat subur seperti Irak, karena
dialiri oleh dua sungai besar yaitu sungai Furat dan Tigris. Selain kedua
daerah tersebut, masih ada daerah lain seperti Thaif dan Madinah yang
kehidupannya bercocok tanam, namun hasil yang diperoleh dapat dikatakan masih
sangat terbatas.
Pada
umumnya, telah menjadi kebiasaan bangsa Arab untuk mengadakan perjalanan
perdagangan antar kota-kota besar. Bangsa Arab mengadakan perjalanan
perdagangan dua kali setiap tahun, yaitu ke Yaman pada musim dingin dan ke Syam
pada musim panas. Dalam perjalanan itu, mereka akan singgah dahulu di kota
Mekkah baik untuk melakukan ibadah Haji maupun untuk melengkapi perbekalan
dalam perjalanan.
Dan
telah menjadi kebiasaan mereka untuk mengadakan pasaran bersama di kota Mekkah
setiap musim haji. Oleh karena itu, di tiga tempat seperti Yaman, Syam, dan
Mekkah timbul pusat peradaban bangsa Arab saat itu.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa bangsa Arab memiliki watak dan tabiat yang
keras. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa bangsa Arab juga memiliki watak
dan tabiat yang terpuji, seperti berani dalam membela yang hak dan benar, teguh
pada janji dan bersikap amanah, selalu memuliakan tamu yang berkunjung ke
rumah, mereka sangat menghormati kaum wanita, karena itu mereka sering memilih
nama yang baik untuk panggilan kaum wanita seperti Lu’lu’ (permata), Wardah
(mawar), Suroyah (nama bintang), dan lain-lain. Melalui hal yang demikian, kita
akan mendapatkan berbagai macam sebutan dan sanjungan terhadapa wanita dalam
syair mereka. Dan yang paling menonjol sekali, mereka sangat gemar menunggang
kuda dalam medan peperangan. Oleh karena itu, bangsa Arab menyenangi kuda yang
berasal dari keturunan yang baik, sehingga tidak heran bila kita menemukan pada
beberapa bait syair Arab yang memuji kuda kesayangannya.
Pada
saat itu bangsa Arab masih belum mengenal ilmu pengetahuan dengan sempurna,
karena kebanyakan dari mereka tidak mengenal baca dan tulis. Oleh karena itu,
nanti akan kita dapatkan bahwa mereka lebih menyukai Syi’r daripada prosa,
karena Syi’r lebih mudah dihafal.
Di
samping itu, bangsa Arab juga mengerti ilmu perbintangan. Karena mereka hidup
di alam terbuka, dan sering menggunakan bintang sebagai pedoman dalam
perjalanan untuk menentukan arah. Dan ditambah lagi bangsa Arab banyak mengenal
jejak telapak kaki, karena pengetahuan semacam itu sangat dibutuhkan untuk
mengejar musuh mereka. Pada dasarnya berbagai macam ilmu pengetahuan yang
mereka miliki itu tidak bersumber dari kitab atau buku pegangan, melainkan dari
pengalaman sehari-hari.
Telah
menjadi ketetapan kodrat, bahwa setiap bangsa mempunyai kelebihan tersendiri.
Bahwa jadi bahwa kelebihan yang dimiliki oleh suatu bangsa tidak akan dimiliki
oleh bangsa lain. Dalam perkembangan sejarah umat manusia telah disebutkan
bahwa bangsa Yunani kuno mempunyai kelebihan dalam berpikir dan berfilsafat,
sehingga bangsa tersebut dapat melahirkan beberapa filosof yang amat terkenal
seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Jasa baik yang mereka
berikan dalam bidang filsafat tidak akan dilupakan oleh umat manusia hingga
akhir zaman.
Selain
bangsa Yunani masih ada bangsa lain yang juga mempunyai kontribusi besar dalam
peradaban dunia. Sejarah peradaban telah mencatat bahwa bangsa India, tiongkok,
Mesir kuno, dan bangsa Arab, keseluruhan bangsa tersebut telah mengenal
peradaban tinggi sebelum bangsa barat maju.
Keistimewaan
bangsa Arab, mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap bahasa dan
keindahan sastranya, karena mereka mempunyai perasaan yang halus dan ketajaman
penilaian terhadap sesuatu. Dua sifat itulah yang menjadi faktor utama bagi
mereka untuk mempunyai kelebihan dan kemajuan dalam bahasa. Karena keindahan
bahasa bersandarkan pada perasaan halus dan daya khayal yang tinggi
(imajinasi), maka dengan kedua faktor inilah bangsa Arab dapat mengeluarkan
segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa mereka dalam bentuk syair-syair yang
indah.
Di
sini, perlu disebutkan mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Arab
Jahiliyyah lebih cenderung pada bahasa dan keindahannya, antara lain:
1.
Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi diantara sesama mereka untuk
menggambarkan dan menceritakan perjalanan mereka dalam mengarungi padang pasir,
dan juga digunakan untuk menceritakan mengenai keindahan binatang, maupun
menggambarkan ketangkasan kuda, dan banyaknya hasil rampasan perang yang mereka
menangkan.
2.
Bahasa digunakan untuk mengobarkan semangat perjuangan, menghasut api
pertikaian sesama mereka, seperti mengobarkan rasa balas dendam dan
menggambarkan kepahlawanan serta kemenangan yang diperolehnya. Dan untuk itu
semua mereka menggunakan syair sebagai sarananya.
3.
Bahasa digunakan untuk menerangkan segala kejadian penting dan nasihat yang
dibutuhkan oleh anak buahnya, seperti memberikan cerita mengenai keagungan
nenek moyang mereka.
Selain
faktor-faktor di atas, ada juga hal yang meningkatkan perhatian bangsa Arab
Jahiliyyah terhadap bahasanya sendiri. Misalnya mengadakan perlombaan deklamasi
yang diadakan setiap tahun di kota Mekkah, dan diikuti oleh semua bangsa Arab
yang datang di Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji, yang sebelumnya mereka akan
mengadakan pasaran bersama. Di dalam suatu kesempatan,mereka juga mengadakan
perlombaan bersyair, dan juka dalam perlombaan itu ada seorang penyair yang
menang, maka bait syairnya akan ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding
Ka’bah agar bait syair itu dapat dikenal oleh setiap orang yang berthawaf.
Syair
yang telah dihafal oleh seseorang akan diajarkan kepada anak dan kaumnya,
kemudian diteruskan sampai turun-temurun sehingga syair itu akan dihafal oleh
beberapa generasi mendatang.
Demikianlah
seterusnya perkembangan syair dari sejak zaman jahiliyah sampai masa sekarang.
Gambaran di atas menunjukkan kepada kita akan besarnya perhatian bangsa Arab
terhadap bahasanya, dan tidak terdapat pada bangsa lain, sehinggal itulah keistimewaan
bangsa dan bahasa Arab.
Bahasa
dan kandungan Syi’r Arab Jahiliyyah sangat sederhana, padat, jujur, dan lugas.
Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya tetap tinggi,
dikarenakan imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai sasaran.
Meskipun demikian, ada beberapa Syi’r Arab Jahiliyyah yang sangat remang-remang
atau sangat imajiner dan simbolis. Syi’r seperti ini digubah dengan sangat
padat dan sering menggunakan simbol yang samar sehingga sulit dicerna oleh
kalangan umum, sehingga yang mampu mengapresiasikan Syi’r imajiner adalah
kalangan tertentu yang memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang sang
penyair. Dari sudut gaya, Syi’r Arab Jahiliyyah sangat mementingkan irama,
ritme, rima, musik atau lagu, serta sajak (dikenal dengan nama qafiyah). Tetapi
semua ini dilakukan secara wajar, bukan dengan memaksa mencari kata-kata hanya
untuk kepentingan ritme dan sajak.
C. Faktor-Faktor Yang Mendorong
Perkembangan Sastra Jahiliyah
Kondisi
geografis dan etnis masyarakat Arab, menjadi faktor yang cukup dominan bagi
perkembangan sastra pada masa awal sejarah sastra ِِِArab yaitu pada masa jahiliyah. Menurut Juzif al-Hasyim
(1968: 23) dalam bukunya al-Mufid, Ada banyak faktor yang mempengaruhi
perkembangan sastra, yaitu: Pertama adalah iklim dan tabiat alam. Syi’r jahily
terpengaruh begitu kuat dengan alam padang pasir dan kehidupan kaum badui,
kata-katanya keras menggambarkan kehidupan yang keras, kesunyian, kerinduan.
Uslubnya mirip-mirip antara penyair satu dengan yang lain yang merupakan
refleksi dari pemandangan gurun hampir sama, imajinasi penuh dengan kesederhanaan.
Kedua adalah ciri khas etnik, bangsa Arab menjadi bangsa yang lahir untuk
memuja dan memuji sastra. Tidak semua bangsa mencintai sastra, seperti di
Indonesia suku-suku yang memiliki sense sastra yang kuat seperti suku Minang
dan mayoritas orang Melayu yang lain. Ketiga peperangan, dan keempat adalah
faktor kemakmuran dan kemajuan, kelima agama, keenam ilmu pengetahuan, ketujuh
adalah politik, kedelapan adalah interaksi dengan berbagai bangsa dan budaya.
Selain
faktor-faktor yang telah penulis sebutkan di atas, untuk perkembangan sastra
zaman jahily, ada dua faktor lain yang cukup dominan yang mempengaruhi
perkembangan sastranya, yaitu pasar sastra dan ayyam al-Arab.
1.
Pasar (al-Aswaq)
Menurut
Khalil Abdul Karim (2002: 290) ada dua macam pasar jazirah Arab, yaitu pasar
umum dan pasar khusus atau lokal (Mahalliah), atau pasar luar dan pasar dalam.
Ukaz
adalah contoh dari pasar dalam pasar yang paling terkenal. Pasar ini dimulai
sejak tanggal 1 sampai tanggal 20 Dzul Qa’dah. Kemudian pasar majannah, yang
dimulai sejak tanggal 20 sampai dengan tanggal 30 Dzul Qa’dah, sedangkan pasar
Dzul Majaz dimulai pada awal bulan Dzul Qa’dah sampai dengan tanggal 8, saat
hari tarwiyah, dimana sejak itu ibadah haji besar dimulai. Kemudian pasar
Khaibar yang dilaksanakan setelah musim haji sampai pada akhir bulan Muharram.
Pasar Ukaz terletak di sebelah tenggara kota Mekah, 30 mil dari kota Mekah dan
10 mil dari Thaif. Pasar ini paling terkenal dan menjadi tempat berkumpul bagi
orang-orang Quraisy, Hawazin, Ghatfan, Khuza’ah, dan ‘Adhal”. Al-Idrisi
menyebut pasar Ukaz sebagai pasar umum.
Pasar
Dzul Majaz dilaksanakan oleh para saudagar sejak awal bulan Dzul Hijjah sampai
pada hari tarwiyah; pasar Majannah dilakukan oleh para saudagar sejak tanggal
20 sampai pada penghujung bulan Dzul Hijjah, yaitu setelah pasar Ukaz berakhir.
Ia terletak di dekat kota Mekah. Sebagaimana telah penulis paparkan bahwa
orang-orang Quraisy menghubungkan pasar-pasar tersebut dengan musim haji besar,
hal ini karena sebagian besar pasar itu (Ukaz dan Majannah) berlangsung dekat
dengan musim haji. Pasar tersebut merupakan suatu keistimewaan yang hanya dapat
dinikmati oleh suku Quraisy dan hanya dilakukan di Mekah. Karena itu, musim
haji menjadi musim besar bagi para saudagar, terutama di Hijaz. Oleh sebab itu,
layak bagi penulis untuk memahami bahwa keistimewaan ini merupakan hasil
perenungan para saudagar Quraisy, bukan datang begitu saja. Karena dalam
sehari-hari, mereka mengedarkan barang dagangannya.
Kemudian
mereka melakukan aktivitas jual beli dan kembali dengan membawa keuntungan yang
banyak. Untuk menyelamatkan musim ini, orang Quraisy dengan sekuat kemampuannya
menjadikan hari-hari itu untuk melindungi para pendatang dan memberikan bantuan
yang pantas bagi mereka. Jadi orang Quraisy itulah yang memperluasnya menjadi
pasar-pasar di musim haji besar dan memberikan perlindungan serta bantuan
kepada para pendatang. Oleh karena itu, pasar-pasar tersebut dapat mendatangkan
keuntungan yang besar dan penghasilan yang mapan bagi para tokoh Mekah dan Thaif,
sebab jual beli merupakan penopang kekayaan bagi orang Quraisy khususnya.
Berbeda dengan suku-suku lain yang menggantungkan kekayaannya pada hasil
penyerbuan dan peperangan serta beberapa harta rampasan yang lain.
Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa sebab-sebab penerimaan orang Quraisy terhadap
mata pencaharian berdagang adalah karena mereka memegang teguh agama, sehingga
mereka menjauhi dan membenci peperangan serta membenci tindakan menghalalkan
segala kekayaan. Ketika meninggalkan cara-cara perampokan maka mata pencaharian
yang ada hanyalah berdagang (Karim, 2002: 290).
Haji
adalah musim terbesar yang dapat mendatangkan keuntungan bagi orang Quraisy.
Menurut Hamdan Abdul Majid al-Kubaisi, sebagian pasar-pasar tersebut ada yang
mungkin dapat dikategorikan sebagai pasar luar. Pasar itu dilakukan di atas
laut, seperti: Aden, Shan’a', dan Amman. Pasar-pasar itu tidak sulit dijangkau
oleh orang Quraisy, sebagaimana penulis jelaskan sebelumnya.
Fungsi
pasar tidak sekedar memberikan keuntungan yang besar bagi para konglomerat kota
Mekah, Thaif, Yamamah, dan Yatsrib yang merupakan pusat perkotaan di
tengah-tengah Jazirah Arab. Tetapi pasar itu juga mendatangkan keuntungan yang
lain, yaitu memboyong segala kesejahteraan ke Arab. Hal itu karena barang
dagangan yang dibawa oleh rombongan haji dan saudagar, yang dijual di
pasar-pasar luar, khususnya di atas air dan pelabuhan, mungkin sebagiannya
dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah; seperti pakaian sutera,
parfum, minyak wangi, sandal mewah, surban warna-warni, lampu warna-warni, dan
pedang Hindia, yang harganya hanya dapat dijangkau oleh orang-orang kaya yang
menempati pusat-pusat peradaban, dan juga kalangan terdidik serta para tokoh
Quraisy; sesuatu yang makin menjauhkan jarak antara orang-orang fakir dengan
orang-orang yang kaya.
Pasar-pasar
itu juga tidak hanya terbatas di Jazirah Arab saja. Bahkan di beberapa pasar,
bukan di Jazirah Arab melainkan di negara-negara sekitarnya, terdapat
diskusi-diskusi politik, dimana para tokoh saudagar membahas hukum-hukum
politik, karena sebenarnya hubungan antara politik dan perdagangan merupakan
persoalan yang ada sejak dahulu. “Kota Mekah juga mengenal adanya diskusi
politik yang tercermin dalam pasar. Ini juga mencerminkan satu bentuk politik,
dimana di sana terdapat sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan, ada juga
muktamar-muktamar yang memutuskan banyak hal yang memiliki hubungan dengan
politik masing-masing suku dan juga hubungan antar suku”. Pasar-pasar tersebut
juga mempunyai peran yang jelas dalam bidang sosial budaya, sebagai tempat
festival sastra (Karim, 2002: 294).
Secara
praksis pasar-pasar itu juga menjadi peran sastra dan budaya yang dihadiri oleh
para penyair, kelas menengah dan kelas bawah. Pada waktu itu kecintaan terhadap
Syi’r dan penyair bagi seluruh masyarakat Arab hampir menjadi sebuah naluri
alamiah. Para penyair besar melantunkan qashidah-qashidah dan Syi’r
mu’allaqatnya untuk menentukan siapa penyair yang menempati kelas dua, dan
mendengarkan Syi’r para penyair terkenal yang lain. Para khutaba’ juga
mendatangi pasar tersebut, seperti Qus ibn Sa’adah al-Iyadi yang telah penulis
sebutkan, dimana Nabi Muhammad SAW. pernah mendengarkan khotbahnya di pasar
Ukaz sebagaimana telah penulis singgung di muka. Pada saat beliau mendatangi
suku Iyad, beliau meminta kepada mereka untuk mengulangi khotbah Qus ibn
Sa’adah, maka kemudian beliau memujinya. Mungkin lebih tepat jika pasar Ukaz
dikatakan sebagai pesan sastra dan budaya yang resmi.
Hal
itu dikuatkan oleh pendapat Burhanuddin Dallau, yang mengatakan, pasar Ukaz
tidak saja merupakan tempat dan pesan perdagangan sosial, tapi juga merupakan
pesan diskusi sastra Arab secara umum, dimana para penyair dan khutoba’
berkumpul dan berlomba-lomba dalam berSyi’r dan berkhotbah. Para sejarawan
menceritakan bahwa Nabighah adz-Dzubyani dibuatkan sebuah kubah dari kulit di
pasar Ukaz. Di tempat tersebut para penyair berkumpul dan mendendangkan
Syi’rnya, diantaranya; Khansa’ binti Amr ibn Syarid dan Hassan ibn Tsabit. Ini
tidak terbatas di pasar Ukaz saja, tetapi termasuk juga pasar-pasar yang lain.
Pasar-pasar tersebut telah berperan dalam memunculkan pesan sastra dalam
mempercepat proses ilmiah (obyektif) untuk menatap keadaan sosial, ekonomi, dan
budaya demi mencapai persatuan (Karim, 2002: 312).
2.
Ayyam al-‘Arab
Salah
satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah
apa yang dikenal dengan sebutan “hari-hari orang Arab” (ayyam al-Arab). Ayyam
al-‘Arab merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat
persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air. Persengketaan
itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan
sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta
menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan
sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap
berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka
bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah
yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk
mengendalikan jumlah populasi orang – orang Badui, yang biasanya hidup dalam
kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri
dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi
salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.
Rangkaian
peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita,
kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan
segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan
terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku.
Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral.
Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumlah uang tebusan
kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan
akan tetap hidup selama berabad-abad kemudian (Hitti, 2005: 110).
Ayyam
al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema Syi’r
Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk
menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi’r-Syi’r hija’nya yang pedas.
Syi’r-Syi’r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti
Syi’r-Syi’rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.
D. Tingkatan Penyair Jahiliyah
Para
ahli sejarah kesusastraan Arab (al-Zayat, 1982:45) menyatakan bahwa ada empat
tingkat para penyair pada masa jahiliyah bila dilihat dari masa hidup para
penyair tersebut, yaitu:
1.
Jahiliyun; Mereka yang hidup pada masa sebelum Islam, seperti: Imru’ul
Qais, Zuhair ibn Abi Sulma.
2.
Mukhadhramun; Mereka yang dikenal dengan puisinya di masa jahiliyah dan
Islam, seperti: Khansa’, Hassan ibn Tsabit.
3.
Islamiyyun; Mereka yang hidup di masa Islam tetapi masih memegang
tradisi Arab, dan mereka ini para penyair bani Umayyah.
4.
Muwalladun; mereka yang telah rusak tradisi berbahasanya dan berusaha
memperbaikinya, mereka ini para penyair bani Abbas.
Bila
ditinjau dari segi kualitas puisinya, para penyair jahiliyah terbagi ke dalam
tiga tingkatan:
1.
Tingkat pertama: Imru’ul Qais, Zuhair, Nabighah
2.
Tingkat kedua: al-A’sya, Labid, Tharfah.
3.
Tingkat ketiga: ‘Antaroh, Duraid ibn ash-Shammah, Umayyah ibn Abi ash-Shallat.
Beberapa
ahli bahasa dan sastra sepakat dengan Broklemen (Lajnah ,1962: 64) membagi
penyair jahiliyah menjadi enam kelompok:
1.
Penyair al-Badiyah: yang terbagi menjadi dua kelompok;
- Penyair Sha’alik : Syanfara,
Taabbata Syarran, Urwah ibn Ward
- Ghair Sha’alik : Muhalhil,
Harits ibn Hilzah, Amru ibn Kaltsum, Antarah.
2.
Penyair al-Amir (Penyair Raja): Imru’ul Qais
3.
Penyair Bilath wa at-Takassub: Tharfah ibn ‘Abd, Abid ibn al-Abrash, An-Nabighah
adz-Dzibyani, al-A’sya al-Akbar, al-Huthai’ah.
4.
Penyair Hikmah: Zuhair ibn Abi Sulma, Labid ibn Rabi’ah.
5.
Penyair al-Madzahib: As-Samau’ell, ‘Adi ibn Zaid, Umayyah ibn Abi ash-Shullt.
6.
Penyair-penyair perempuan: al-Khansa’.
E. Karakteristik Syi’r Jahiliyyah
Pada
umumnya karakteristik syi’r Jahiliyyah adalah terletak pada corak pemikirannya
yang terbatas, sesuai dengan corak kehidupan mereka yang sangat sederhana.
Hanya saja kebanyakan penyair masa ini lebih banyak menyandarkan pada daya
khayal yang ada ditambah dengan pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Oleh
karena itu, jika kita hendak menilai keadaan suatu syi’r Jahiliyyah, maka kita
tidak dapat terlepas dari keadaan penyair itu sendiri.
Corak
pemikiran yang sederhana ini dikarenakan mereka belum banyak mengenal
kebudayaan yang tinggi atau mendapat pengaruh dari bangsa lain. Kehidupan
mereka hanya terbatas dalam kehidupan Baduwi yang penuh dengan dunia
pengembaraan, peperangan, dan hidup bebas dari segala hukum dan ikatan
undang-undang.
Karakteristik
yang paling menonjol pada syi’r Arab Jahiliyyah adalah karakter yang
mengedepankan sifat kejantanan dan kepahlawanan, menceritakan segala macam
pengalaman yang baik maupun yang buruk, menggunakan bahasa yang indah, pemilihan
kata-kata yang ringkas tetapi mengandung makna yang dalam.
F. Al-Mu’allaqat
Masyarakat
Jahiliyyah sering mengadakan fastival sastra secara periodik. Ada festival
sastra mingguan, bulanan, dan tahunan. Mereka juga membuat apa yang yang
sekarang disebut dengan pasar seni. Di pasar seni ini para pujangga saling
unjuk kemampuan dalam bersastra. Di antara pasar seni yang paling bergengsi
pada zaman Jahiliyyah adalah pasar Dzu al-Majaz, yang terletak di daerah
Yanbu’, dekat Sagar (kini termasuk wilayah Madinah); pasar seni Dzu al-Majinnah
di sebelah barat Mekkah, dan pasar seni ‘Ukadz yang terletak di timur Mekkah,
antara Nakhlah dan Tha’if. Di tiga tempat ini, masyarakat Jahiliyyah
melangsungkan festival seni selasa selama 20 hari, sejak bulan Dzulqaidah.
Di
pasar ‘Ukadz para penyair berlomba mendendangkan karya-karya mereka di depan
dewan juri yang terdiri dari sejumlah pujangga yang telah memiliki reputasi.
Karya-karya puisi yang dinyatakan sebagai yang terbaik akan ditulis dengan
tinta emas di atas kain yang mewah, kemudian akan digantungkan di dinding
Ka’bah, yang kemudian dikenal dengan istilah al-Mu’allaqat (puisi-puisi yang
digantungkan pada dinding Ka’bah).
Sastra
puisi Arab yang paling terkenal pada zaman Jahiliyyah adalah puisi-puisi
al-Mu’allaqat. Dinamakan al-Mu’allaqat, karena puisi-puisi tersebut
digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada zaman Jahiliyyah, menggantungkan sesuatu
pada dinding Ka’bah bukanlah hal yang aneh, karena setiapkali ada urusan yang
penting, pasti akan digantungkan pada dinding Ka’bah. Pada masa Rasulullah SAW,
pernah terjadi konflik antara Beliau SAW dan Suku Quraisy. Suku Quraisy sepakat
untuk tidak lagi berhubungan dengan Bani Hasyim. Mereka tidak akan kawin dan
melakukan jual-beli dengan keturunan Bani Hasyim. Kesepakatan tersebut ditulis
di atas perkamen dan digantungkan pada dinding Ka’bah.
Puisi
al-Mu’allaqat berbentuk qasidah (ode) panjang, dan memiliki tema
bermacam-macam, yang menggambarkan keadaan, cara, dan gaya hidup orang-orang
Arab Jahiliyyah. Selain memiliki sebutan al-Mu’allaqat, puisi-puisi yang
digantungkan tersebut juga memiliki sebutan lain, antara lain:
1.
As-Sumut (Kalung), karena menurut orang-orang Arab Jahiliyyah,
rangkaian puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah berbentuk seperti kalung
yang tergantung pada dada wanita.
2.
Al-Mudzahhabaat (yang ditulis dengan tinta emas), karena
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah ditulis dengan menggunakan
tinta yang terbuat dari emas.
3.
Al-Qasha’id al-Masyhuraat (Qasidah-qasidah yang terkenal), karena
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut adalah puisi-puisi
terkenal yang ada saat itu dibandingkan dengan puisi-puisi yang lainnya.
4.
As-Sab’u at-Tiwal (Tujuh buah puisi yang panjang-panjang), karena
puisi-puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut terdiri dari tujuh
buah puisi dan panjang-panjang. Nama ini diberikan oleh orang yang berpendapat
bahwa puisi yang tergantung pada dinding Ka’bah tersebut ada tujuh buah.
5.
Al-Qasha’id al-Tis’u (Sembilan buah Qasidah), karena puisi-puisi
yang tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sembilan buah puisi. Nama
ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang
tergantung tersebut terdiri dari sembilan buah puisi.
6.
Al-Qasha’id al-‘Asru (Sepuluh buah qasidah), karena puisi-puisi
yang tergantung pada dinding Ka’bah itu terdiri dari sepuluh buah puisi. Nama
ini diberikan oleh orang-orang yang berpendapat bahwa puisi-puisi yang
tergantung tersebut terdiri dari sepuluh buah puisi.
Sejarah
sastra Arab mencatat sepuluh penyair al-Mu’allaqat, yaitu Umru al-Qais bin
Hujrin bin al-Harits al-Kindi, Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani, an-Nabigah
adz-Dzibyani, al-A’sya al-Qaisi, Lubaid bin Rabi’ah al-Amiri, Amr bin Kultsum
at-Taghlibi, Tharafah bin Abdul Bakri, Antarah bin Syaddad al-Absi, al-Harits
bin Hilliziah al-Bakri, dan Ummayah bin ash-Shalt.
Penyair
Jahiliyyah lain yang sangat terkenal, tetapi tidak termasuk penyair
al-Muallaqat, adalah al-Khansa (w. 664, penyair wanita dari kabilah Mudhar yang
akhirnya memeluk Islam), al-Khutaiyah (w.679, juga berasal dari kabilah Mudhar
dan masuk Islam), Adi bin Rabi’ah (w. 531, dikenal dengan nama al-Muhalhil),
Sabit bin Aus al-Azdi (w.510, dikenal dengan nama asy-syanfari).
Assalamualaikum . boleh saya tahu sumber di ambil dri mana? saya ingin buat rujukan . terima kasih :)
BalasHapus