BAB
VI
SASTRAWAN
ARAB
1. UMAYAH BIN ABI ASH-SHALT
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Nama
aslinya adalah Abu Utsman Umayyah bin Abi ash-Shalt Abdullah ibn Abi Rabi’ah
ibn Auf Ats-Tsaqafi. Ia merupakan penyair Tsaqif dan termasuk salah seorang
pencari agama yang benar pada masa Jahiliyyah. Ia dibesarkan di Thaif. Ayahnya
adalah seorang penyair terkenal, ia banyak belajar kepada sang ayah dalam
berpuisi, untuk bekal pandangan-pandangan agama ia mencarinya kepada Ahlul
Kitab.
Umayyah
bin Abi ash-Shalt merupakan salah seorang yang banyak meriwayatkan
berita-berita tentang orang-orang Yahudi, Nasrani, dan sisa-sisa agama Ibrahim
serta Ismail, berita tentang kisah penciptaan langit, bumi, malaikat, jin,
syari’at para nabi dan rasul yang masih tersimpan dalam ingatan para sesepuh
Arab Jahiliyyah. Ia selalu aktif beribadah dan mengenakan pakaian pengembara.
Dia juga merupakan seseorang yang mengharamkan Khamr (minuman keras/arak) dan
meragukan kepercayaan terhadap berhala.
Di
dalam kitab-kitab yang dibacanya, ia menemukan berita gembira tentang akan
diutusnya seorang Nabi dari bangsa Arab. Mendengar berita mengenai hal itu, ia
pun berambisi menjadi seorang Nabi yang dimaksudkan tersebut. Hingga suatu
ketika, Rasulullah Saw diutus, hati Umayyah bin Abi ash-Shalt ragu dan memendam
rasa dengki dan iri, ia berusaha melawan dan mengingkari agama yang dibawa oleh
beliau Saw, meskipun dia tahu bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw
itu benar. Umayyah mengajak dan mendorong orang-orang Quraisy untuk mengingkari
Nabi Saw, dan meratapi orang-orang Quraisy yang meninggal dalam perang Badar.
Nabi
Muhammad Saw. melarang periwayatan puisinya yang berkenaan dengan hal itu.
Sehingga berkenaan dengan kejadiaan tersebut, turunkanlah ayat al-Qur’an yang
berbunyi:
“واتل عليهم نبأ الذى آتيناه آياتنا فانسلخ
منها فأتبعه الشيطان فكان من الغاوين”
“Dan
bacakanlah kepada mereka berita tentang seseorang yang telah kami berikan
kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab) kemudian dia
melepaskan diri dari ayat-ayat itu (mengingkarinya), lalu dia diikuti oleh
setan-setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk golongan
orang-orang yang sesat” (Al-A’raf,
7: 175).
Dan
apabila Nabi Saw mendengar puisi Umayah yang berkenaan dengan tauhid, keimanan,
dan pujian kepada Allah Swt, maka beliau Saw. bersabda:
آمن لسانه وكفر قلبه
“Dia
beriman lidahnya, tetapi hatinya kafir”
Kebanyakan
puisi-puisi pujian (madah) Umayyah bin Abi ash-Shalt pada masa Jahiliyyah
dikhususkan kepada Abdullah ibn Jud’an, salah seorang bangsawan dan hartawan
Quraisy, sehingga dia menempati kedudukan seperti kedudukan Zuhair bin Abi
Sulma pada Haram ibn Sinan. Dia menghabiskan sisa-sisa hidupnya di Thaif sampai
meninggal dalam kekafiran pada tahun ke-9 Hijrah.
Puisi-Puisinya
Umayyah
bin Abi ash-Shalt temasuk salah seorang pembesar penyair pedesaan, meskipun
dikalangan mereka sedikit sekali puisi yang beredar. Hanya saja yang membuat
puisinya tercela dalam pandangan sebagaian sarjana bahasa Arab, sehingga mereka
mengugurkan untuk berargumen dengan puisinya adalah karena dalam puisinya banyak
menggunakan bahasa serapan dari bahasa Ibrani dan Suryani. Seakan-akan mereka
mengingkari kebenaran adanya ta’rib (serapan ke dalam bahasa Arab) karena
seringnya berbaur dengan orang-orang asing, meski bahasa Arabnya jelas.
Sebagaimana mereka mengingkari Adi ibn Zaid karena dia banyak memasukkan
kata-kata dari bahasa Persia ke dalam puisinya karena dia lama bergaul dengan
mereka.
Umayyah
bin Abi ash-Shalt menyebut langit (as-sama`/السماء
) dengan
shooquuroh (صاقورة). Dia menyatakan bahwa bulan memiliki
kulit penutup yang jika terjadi gerhana bulan ia masuk ke dalamnya, ia
menamakan dengan as-saahuur (الساهور),
serta ia menamakan Allah dalam puisinya dengan as-Sulthith (السلطيط),
At-Taghruur (التغرور), dan sebagainya.
Puisi
yang diciptakannya berbeda dengan puisi para penyair lainnya, dengan kemudahan
dalam kosakatanya dan dengan menyebutkan keajaiban-keajaiban dari kisah-kisah
fiksi dan legenda-legenda, penciptaan alam dan kehancurannya, keadaan akhirat,
sifat-sifat Sang Pencipta dan kekhusyukan pada-Nya. Dalam menyebutkan hal
tersebut Umayyah menggunakan kata-kata yang belum pernah digunakan oleh seorang
penyair pun sebelumnya. Puisinya juga diselingi oleh kata-kata hikmah dan pribahasa.
Diantara puisi-puisinya adalah:
الحمد لله ممسان ومصبحنا
¤ بالخير صبحنا ربى ومسانا
رب الحنيفة لم تنفد خزائنه
¤ مملوءة طبق الآفاق سلطانا
ألا نبى لنا منا فيخبرنا
¤ ما بعد غايتنا من رأس محيانا
وقد علمنا لوان العلم ينفعنا
¤ أن سوف تلحق أخرانا بأولانا
“Segala
puji milik Allah kala kita berada di saat pagi dan petang, semoga Tuhanku
memberikan kebaikan pada kita pada pagi dan petang”
“Tuhan
Ibrahim yang Hanif, yang tak habis-habis simpanan-Nya, memenuhi cakrawala
dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas”
“Ingatlah,
ada seorang Nabi diantara kita yang diangkat dari kalangan kita, lalu
memberitahukan kepada kita munculnya pemimpin yang menjadi tujuan kita”
“Kami
telah mengetahuii berbagai ilmu yang bermanfaat bagi kami, bahwa orang-orang
yang terakhir akan mengikuti orang-orang yang terdahulu dari kami”
Dia
mencela anaknya dengan mengatakan:
عذوتك مولودا ومنتك يافعا
¤ تلعل بما أجنى إليك وتنهل
إذا ليلة نابتك بالشجو لم أبت
¤ لشكواك إلا ساهرا أتململ
كأنى أنا المطروق دونك بالذى
¤ طرقت به دونى فعنى تهمل
تخاف الردى نفس عليك وإننى
¤ لأعلم أن الموت حتم مؤجل
فلما بلغت السن والغاية التى
¤ إليها مدى ما كنت فيك أؤمل
جعلت جزائى غلظة وفظاظة ¤
كأنك أنت المنعم المتفضل
“Pagi
hari kau lahir, siang hari kau besar, semoga demikian adanya yang aku petik
darimu dan yang kau reguk dari minum pertamamu”
“Ketika
di suatu malam kau terluka, semalaman aku tak bias tidur, buka karena mendengar
keluhannya, tetapi karena terjaga dan rasa bosan”
“Seakan-akan
aku sendiri yang memukul-mukulmu dengan pukulan-pukulan yang dipukulkan padaku
sehingga merasa kelelahan”
“Kau
takut hal yang terburuk menimpa jiwamu, padahal sesungguhnya aku tahu bahwa
sang maut pasti datang menjemput”
“Ketika
kau telah mencapai usia dewasa dan mencapai tujuan, yang kau gapai sejauh kau
dapat menggapainya. Aku pun tak dapat lagi mengharapkan apa-apa darimu”
“Kau
jadikan balasan buatku kekasaran dan kebencian, seakan engkau sendiri yang
memberikan kesenangan yang berlebihan”
Di
antara puisi madah-nya (puisi yang berisikan pujian) :
عطاؤك زين لامرئ قد جبو ته
¤ بخير وما كل العطاء يزين
وليس يشين لامرئ بذل وجهه
¤ إليك كما بعض السؤال يشين
“Pemberianmu
adalah hiasan bagi orang yang telah kau berikan kebaikan, padahal tidak setiap
pemberian dapat menjadi perhiasan”
“Bukanlah
sesuatu yang dikehendaki oleh seseorang adalah akan mengarahkan wajahnya
padamu, seperti sebagian yang diminta bukanlah yang dikendaki”
Di
antara puisi-puisinya yang berisikan mengenai kematian ketika datang
menjemputnya adalah:
إن نغفر اللهم نغفر جما ¤
و أى عبد لك لا ألما
“Jika
Engkau berkenan mengampuni, Ya Allah Tuhanku, ampunilah semuanya, sebab hamba
mana yang tiada berharap mendapat ampunan-Mu”
- 2.
LUBAID BIN RABI’AH
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Nama
lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi’ah bin Malik. Ia sering juga dijuluki Abu
‘Uqail al-’Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa
jahiliyyah. Ia berasal dari kabilah Bani ‘Amir Ibnu Sho’sho’ah, yaitu salah
satu pecahan dari kabilah Hawazin Mudhar[1]. Ibunya berasal dari kabilah ‘Abas. Lubai dilahirkan
sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang
dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang
dijuluki dengan “Rabi’ al-Muqtarin”. Sedangkan sifat keberaniannya diwarisi
dari kabilahnya.
Lubaid
bin Rabi’ah al-Amiri adalah penyair Jahiliyyah yang memiliki usia yang panjang.
Dia berumur 145 tahun, dan sempat mendapatkan masa Islam. Namun, penyair ini
tetap digolongkan ke dalam penyair Jahiliyyah, karena sesudah masuk Islam, ia
tidak mengucapkan puisi lagi kecuali hanya satu bait saja.
Dahulu,
di antara kabilah Bani ‘Amir dengan kabilah Bani ‘Abas terjadi permusuhan yang
sengit. Hingga akhirnya kedua utusan dari kedua kabilah tersebut dipertemukan
dihadapan al-Nu’man bin al Mundzir. Dari Bani ‘Abas diantaranya ada al-Rabi’
bin Ziyad dan dari Bani Amir diantaranya ada para pendekar. Pada saat itu al
Rabi’ dan al Nu’mân duduk-duduk bersama menikmati hidangan makan dan minum. Ia
merasa iri dengan orang-orang dari Bani Amir, maka iapun menyebut-nyebut aib
dan kekejian mereka. Maka ketika utusan dari mereka masuk menemui al-Nu’man, ia
tak memperdulikannya dan memalingkan mukanya. Hal inilah yang kemudian membuat
mereka jengkel, dan kemudian keluar dengan wajah memerah karena kemarahan. Pada
saat kejadian itu, Lubaid masih kecil, sehingga ketika ia bertanya tentang
siapa saja para ahli pidato dari mereka, ia pun diejeknya karena dianggap belum
cukup umur. Ia begitu sangat berharap bisa bergabung dengan mereka. Iapun
bersumpah akan memberi pelajaran kepada al-Rabi’ kelak nanti di hadapan
al-Nu’man. Sumpahnya akhirnya terwujud, al-Nu’man akhirnya membenci al-Rabi’
dan ia tak lagi mau menemuinya serta melaknatnya. Setelah itulah, Bani ‘Amir
mulai terangkat. Raja menghormati mereka dan memenuhi segala kebutuhannya.
Inilah awal dari popularitas Lubaid. Ia melantunkan puisi-puisi singkat dan
puisi-puisi panjangnya. Ketika puisinya dilantunkan, an-Nabighah pun mengakui
bahwa Lubaid adalah seorang penyair yang paling ulung dari kalangan Kabilah
Hawazin dengan usia yang masih relatif muda. Puisi yang membuat al Nâbighah
terbius adalah puisi pada mu’allaqahnya yang bait pertamanya berbunyi :
عفت الديار محلها فمقامها
¤ بمنى بأبد غولها فرجامها
“Bekas-bekas
reruntuhan perkampungan itu telah lenyap, tempatnya di Mina, tanahnya rendah
dan tingginya menyeramkan”
Mendengarkan
puisinya itu, lalu an-Nabighah berkata:
Para
ahli sastra Arab menggolongkan puisinya ke dalam kelas tinggi, yang dilihat
dari segi kesopanan dan lebih condong kepada ketuhanan. Dalam puisinya banyak
menunjukkan sifat mulia dan kemauannya yang keras dalam mencapai martabat yang
tinggi. Yang paling menonjol sekali dari puisinya, ia tidak pernah mengejek
atau menjelek-jelekan siapa pun, dan juga tidak pernah merendahkan diri kepada
orang besar (raja atau bangsawan). Karena penyair ini tidak menjadikan puisinya
sebagai modal untuk mencari kedudukan ataupun harta kekayaan seperti yang
banyak dilakukan oleh penyair Jahiliyyah lainnya. Sebaliknya ia selalu
membanggakan kaumnya yang selalu berusaha mendapatkan kemuliaan dalam menolong
orang yang lemah.
Ketenaran
penyair ini juga tidak menghalanginya untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw.
Dalam suatu riwayat diceritakan, bahwa pada suatu hari ketika rombongan yang
diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mendakwahkan Islam di Madinah, dan Lubaid
mulai tertarik akan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. Akan tetapi, pada
saat itu ia masih belum menyatakan keislamannya. Setelah beberapa tahun
kemudian barulah ia bersama rombongannya datang kepada Rasulullah Saw untuk
menyatakan keislamannya, dan ia kembali pulang ke kabilahnya dan menerangkan
mengenai surga, neraka, hari kebangkitan, dan mengajarkan al-Quran kepada
kaumnya.
Puisi-Puisinya
Diwan
Lubaid telah dikodifikasikan oleh banyak sekali para sastrawan terkenal.
Sedangkan periwayatan yang ada hanyalah periwayatan dari Ali bin Abdullah
al-Thusy yaitu salah seorang murid dari Ibn al-’Araby yang meninggal pada tahun
231 H/844 M.
Pada
masa Umar bin al Khathab – Setelah terjadi pembukaan beberapa kota – Lubaid
pergi ke Kufah. Lubaid tinggal dan hidup di sana cukup lama, sampai ajal
menjemputnya pada awal masa kekhalifahan Mu’awiyyah pada tahun 41 H / 661 M.[3] Ada yang mengatakan bahwa usianya mencapai 130 tahun. Ia
termasuk salah satu pemilik mu’allaqat. Ia memiliki sebanyak kurang
lebih 122 qasidah dan 1322 bait puisi.
Sebagian
para ahli kesusastraan Arab menggolongkan Lubaid sebagai penyair Jahiliyyah,
karena sesudah masuk Islam, penyair ini tidak lagi mengucapkan puisi, kecuali
hanya satu bait saja, sebuah puisi yang diucapkannya ketika menyatakan diri ke
dalam Islam seperti yang terdapat di bawah ini[4]:
الحمد لله أن لم يأتنى أجلى
¤ حتّى لبست من الإسلام سربالا
“Al-Hamdulillah,
ajalku tidak datang sebelum aku menjadi seorang muslim”
Akan
tetapi, sebagian ahli kesusastraan Arab yang lain menggolongkan Lubaid ke dalam
penyair Islam, karena ia banyak menghasilkan puisi-puisi yang bernafaskan
Islam, dan puisi-puisinya telah terpengaruh oleh ayat-ayat suci al-Quran.
Pada
zaman Jahiliyyah puisi-puisinya banyak membicarakan seputar pujian (madah),
mencaci atau mengejek (hija’), bahkan banyak dari puisinya yang berisikan
kebanggaan terhadap kaumnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan puisi di bawah
ini[5]:
إنا إذا التقت المجامع لم يزل
¤ منا لزاز عظيمة جشامها
ومقسّم يعطى العشيرة حقها ¤
ومغذمر لحقوقها هضامها
فضلا وذو كريم يعين على الندى
¤ سمح كسوب رغائب غنامها
من معشر سنّت لهم آباؤهم
¤ ولكل قوم سنة وإمامها
لايطبعون ولايبور فعالهم
¤ إذ لا يميل مع الهوى احلامها
وهم السّعاة إذا العشيرة افظعت
¤ وهم فوارسها وهم حكّامها
وهم ربيع للمجاور فيهم ¤
والمرملات إذا تطاول عامها
”Bila
beberapa kabilah sedang berkumpul, maka kaumku akan menandingi mereka dalam
berdebat ataupun bertanding”
“Kaumku
adalah pembagi yang adil, yang memberikan hak keluarganya, dan kaumku adalah
sangat pemarah kepada siapa pun yang merampas hak keluarganya”
“Kaumku
menolong dengan suka rela, karena mereka suka menolong, suka memaafkan, dan
suka pada suatu kemuliaan”
“Kaumku
berasal dari keturunan yang suka pada kemuliaan, dan bagi setiap kaum pasti
mempunyai adat dan pemimpin sendiri”
“Kaumku
tidak pernah merusak kehormatannya dan tidak suka mengotori budi pekertinya,
karena mereka tidak senang mengikuti hawa nafsu”
“Bila
keluarganya sedang tertimpa musibah, mereka akan membantu, merekalah pahlawan
bila keluarga sedang terserang dan merekalah yang akan menundukkan musuh”
“Kaumku
adalah penolong bagi siapa pun yang meminta pertolongan, dan pembantu bagi
janda yang tertimpa kemalangan”
Kemudian,
pada masa permulaan Islam, puisi-puisinya sudah banyak terpengaruh oleh gaya
bahasa al-Quran dan isinya banyak mengandung ajaran-ajaran yang bernafaskan
Islam, dikarenakan setelah memasuki Islam, Lubaid lebih tekun mempelajari
ajaran-ajaran agama Islam yang terkandung dalam ayat-ayat suci al-Quran,
seperti dalam salah satu bait-bait puisinya yang menerangkan keimanannya
terhadap hari kebangkitan, di bawah ini[6]:
الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل
¤ وكلّ نعيم لا محالة زائل
وكلّ أناس سوف تدخل بينهم
¤ دويهية تصفرّ منها الأنامل
وكلّ امرئ يوما سيعلم غيبه
¤ إذا كشفت عند الاله الحصائل
”Sesungguhnya
segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan pasti akan
sirna”
“Dan
pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi oleh maut yang memutihkan
jari-jari”
“Setiap
orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya jika telah dibuka
catatannya di sisi Tuhan”.
Dalam
menanggapi kemantapan isi bait puisi di atas, Nabi Muhammad Saw berkomentar
dalam suatu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim[7]:
اصدق كلمة قالها شاعر كلمة لبيد (الا
كلّ شيئ ما خلا الله باطل)
“Sebaik-baik
puisi yang pernah diucapkan seorang penyair adalah ucapan Lubaid yang berbunyi:
“Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap”
- 3.
AL-HARITS BIN HILLIZIAH AL-BAKRI
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Nama
aslinya adalah Al-Harits bin Hillizah al-Yasykuri al-Bakri, ia merupakan salah
seorang pemilik puisi mu’allaqat yang terkenal dengan satuan bait-bait
puisinya, pemikirannya bagus dan spontanitas, menjadi pribahasa dalam puisi
hammasah (patriotik) dan fakhr-nya (berbangga). Silsilah keturunannya sampai
kepada Bakr bin Wail.
Posisinya
dalam kabilah itu seperti posisi Amru bin Kultsum dalam kabilah Taghlib.
Peninggalan karya puisinya hanyalah puisi-puisi pendek yang sederhana dan puisi
mu’allaqat-nya, yang permulaannya adalah:
آذنتـنا يبينها أسـماء ¤
رب ثاو يمل منـه الثــواء
“Perpisahannya
dengan kami memberitahukan nama-nama dewa yang bersemayam di sana dibuat bosan
bersemayam di sana”
Adalah
dikarenakan oleh mu’allaqqat-nya inilah Amru bin Hindun, salah seorang raja
Hirah mendamaikan antara kabilah Bakr dan kabilah Taghlib menyusul peperangan
antara kedua kabilah tersebut yang terkenal dengan perang al-Basus, serta
mengambil dari masing-masing kedua belah pihak jaminan tanggungan dari anggota
kabilah untuk menghentikan pertikaian satu sama lainnya dan untuk mengikat bagi
pihak yang menyerang dan diserang. Kemudian terjadi peristiwa bahwa raja
meminta ganti serombangan ternak dari kabilah Taghlib dalam suatu keperluan.
Kabilah Taghlib mengatakan bahwa hewan-hewan ternak itu menjarah air milik
kabilah Bakr, lalu mereka menghalaunya dan menggiringnya ke daerah padang pasir
yang gersang hingga ternak-ternak itu mati kehausan. Sementara kabilah Bakr
mengatakan bahwa mereka memberi minum dan menggiring mereka ke arah jalan
pulang, tetapi mereka lalu tersesat dan mati. Kedua pihak saling membela diri
dihadapan Amru bin Hindun. Amru bin Hindun kemudian memihak kepada kabilah
Taghlib, maka dengan spontanitas al-Harist bin Hillizah mencercanya dengan
puisinya. Hal itu terjadi di majelis pertemuan dalam keadaan dia menutupi
dirinya dengan tirai agar tidak kelihatan oleh raja, itu dikarenakan al-Harits
menderita penyakit campak. Puisinya itu diungkapkan dengan spontanitas, di
dalam puisi itu ia membanggakan kaumnya, menyanjung perbuatan mereka, serta
kebaikan mereka dalam mendampingi dan menyertai raja dalam sebagian besar
peperangan-peperangannya. Begitu al-Harits selesai berpuisi, raja berpindah ke
samping kabilah Bakr, dan mendekati al-Harits serta membuka tirai yang
menutupinya, lalu mereka berdua duduk bersama dalam tempat duduknya. Al-Harits
berusia panjang, sehingga sebagian ulama sastra menyatakan bahwa sesungguhnya
dia mendendangkan puisinya ini dalam usia seratus tiga puluh lima tahun”.
Puisi-Puisinya
Kebanyakan
para perawi dan kritikus puisi terkagum-kagum dengan spontanitas al-Harits bin
Hillizah dalam menciptakan puisi yang demikian panjangnya, dengan tepatnya
susunan, banyaknya kata-kata unik (asing), teknik dan temanya variatif serta
mengandung banyak informasi tentang peperangan bangsa Arab dan
peristiwa-peristiwa pentingnya.
Di
antara kata-katanya yang di dalamnya mengandung sesuatu yang demikian ringkas
padat adalah kata-katanya yang melukiskan kepandaiannya dalam menciptakan puisi
dengan spontan, kebenaran, dan kejelasannya dalam menggambarkan kenyataan:
أجمعوا أمرهم عشاء فلـما
¤ أصبحوا أصبحت لهم ضوضاء
من مناد ومن مجيب ومن تصـ
¤ ـهال خيل, خلال ذاك رغـاة
“Mereka
menyepakati urusan mereka waktu Isya, tapi manakala pagi hari tiba mereka
ribut, hiruk pikuk”
“Ada
yang memanggil-manggil, ada yang menjawab bergalau dengan suara-suara ringkikan
kuda diselingi dengan suara-suara unta”
Di
antara perkataannya:
لايقيم العزيز بالبلد السهـ
¤ ـل ولا ينفع الذليل النجـاء
ليس ينجى موائلا من خذار
¤ رأس طود وحــرة رجـلاء
“Orang
mulia tidak akan tinggal di negeri yang datar, orang lemah dan hina tidak
berguna, bagi orang cerdas akan berjalan cepat”
“Tidak
akan selamat orang yang melarikan diri menjauhi puncak gunung dan jalan
berbatuan hitam walau dengan telapak kaki kuda yang tebal”
Di
antara perkataannnya di luar mu’allaqat-nya adalah:
من حاكم بينـى وبيـ ¤ ـن
الدهر مـال علـىّ عـمدا
أودى بسـادتن اوقـد ¤
تركوا لنا حلق اوجــردا
خيلى وفارسـها ورب ¤ م أبيك
كـان أعز فقدا
فلو أن مـا يأوى إلــىّ ¤
م أصـاب من ثهـلان هدّا
فضـعى قـناعك إن ريـ ¤ ـب
الدهر قد أفنــى معدّا
فلكم رأيت معـاشــرا ¤ قد
جمّعوا مــالا وولـدا
وهم ربــاب حــائر ¤ لا
يسمع الآذان رعــدا
فعشن بجـد لا يضـر ¤ ك
النوك مــا لا قيـت جدا
والعـيش خير فى ظــلا ¤ ل
النوك ممـن عاش كــدّا
“Barang
siapa menghakimi di antara aku dengan sang masa, maka ia akan memihakku
secara sengaja”
“Tebusan
telah tampak pada para pemimpinkami, dan mereka telah meninggalkan pada kami
senjata dan kuda”
“Kudaku
dan penunggangnya dan ayahmu lebih banyak bersedih karena kehilangan”
“Andaikan
ada yang berlindung kepadaku, niscaya tak akan tertimpa gunung Tsahlan yang
runtuh”
“Maka
tanggalkanlah kerudung penutup kepalamu, sesungguhnya bencana sang waktu telah
melenyapkan kaum Ma’ad”
“Pada
kalian aku melihat sekelompok orang, mereka telah mengumpulkan harta dan
anak-anak”
“Mereka
adalah gumpalan awan yang diam terpekur, yang tidak lagi mendengarkan gelegar
halilintar”
“Hiduplah
kamu dengan terus bekerja keras, kebodohan itu tidak akan membahayakan
sepanjang kau mau terus bekerja keras”
“Lebih
baik hidup di bawah naungan kebodohan, daripada hidup di bawah himpitan
kesengsaraan”
Di
antara perkataannya yang lain adalah:
إن السعيد له فى غيره عظة
¤ وفى التجارب تحكيم ومعتبر
“Sesungguhnya
orang yang bahagia, adalah orang yang memiliki pengajaran bagi orang lain, dan
di dalam berbagai pengalaman hidup terdapat kemampuan mengadili dan memberi
pelajaran
- 4.
AL-A’SYA BIN AL-QAISI
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Nama
lengkap dari penyair ini adalah Maimun al-A’sya bin al-Qaisi bin Jundul
al-Qaisyi, dilahirkan di Manfuhah dikawasan Yumamah. Ia berasal dari kabilah
Bakar bin Wail yang menurut riwayat kabilah ini merupakan bagian dan kelompok
di Jazirah Timur yaitu lembah sungai Eufrat sampai Yamamah. Adapun keturunan
(bani) yang lebih dan banyak dikenal dari kabilah ini ialah bani Syaiban, bani
Yasykur, bani Jusyam, bani I’jul yang berada di lembah sungai Eufrat, bani
Hanifah, dan bani Qais bin Tsa’labah yang berada dikawasan Yamamah. Dari
bani-bani tersebut, bani Qais-lah yang lebih utama, yang secara turun-temurun
berlanjut kepada bani-bani lainnya. Salah satunya adalah bani Malik bin
Dubai’ah dari kerabat mereka yaitu bani Jahdar dan bani Sa’ad bin Dubai’ah,
dari bani-bani inilah yang kemudian merupakan asal usul (satu keturunan) dari
penyair al-A’sya bin al-Qais.
Nama
al-A’sya merupakan julukan baginya, karena ia memiliki kadar penglihatan yang
lemah (rabun). Nama pada saat karier kepenyairannya meningkat, ia dijuluki Abu
Basir yang berarti orang yang mempunyai penglihatan. Konon ayahnya mempunyai
julukan “Orang yang mati kelaparan”, karena pada suatu ketika ayahnya
memasuki sebuah goa hanya untuk berteduh di dalamnya dari cuaca panas, tetapi
malang baginya tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dari atas gunung dan menutupi
mulut goa, yang menyebabkan ayahnya mati kelaparan di dalamnya. Mengenai
kejadian itu, juhunnam seorang penyair membuat sebuah puisi hija’ (sindiran)
untuk ayahnya yaitu:
“Ayahmu
Qais bin Jundul mati kelaparan, kemudian pamanmu itu disusui oleh budak dari
Khuma’ah”.
Khuma’ah
adalah tempat kelahiran ibu dari al-A’sya. Saudara kakeknya, Musayyub bin ‘Alas
mempunyai jasa yang besar dalam mengabadikan puisi al-A’sya.
Para
ahli sastra Arab menganggapnya sebagai orang keempat setelah ketiga penyair
yang telah disebutkan di atas. Penyair ini ditakuti akan ketajaman lidahnya,
sebaliknya ia juga disenangi orang bila ia telah memuji seseorang, dan orang
itu seketika itu pula akan menjadi terkenal.
Puisi-puisi
al-A’sya banyak menceritakan pengembaraannya ke sebagian daerah jazirah Arab
untuk memuji para pemimpin (kepala suku) dan para bangsawan. Sehingga di dalam
diwan-nya (kumpulan puisi), dia banyak memuji Aswad bin Mundzir dan saundaranya
yaitu Nu’man bin Mundzir dan Iyas bin Qubaisah. Dia juga banyak membicarakan
mengenai perdamaian antara salah seorang penguasa di Yaman dengan bani Abdul
Madin bin Diyan di Najran, dan penguasa yang bernama Hauzah bin ‘Ala Sayid dari
bani Hanifah, yang tidak diketahui latar belakang mengenai perselisihan di
antara ketiganya.
al-A’sya
sering melakukan pengembaraan dan mengunjungi kawasan Hirah, Yaman, dan Diyar
(sebuah daerah berbukit di Yaman), dan Najran, begitu pula dengan daerah Syam,
Persia, dan Jerussalem. Khususnya di daerah Yaman, Nejed, dan Hirah, ia memuji
para pejabat teras di sana. Begitu pula dengan kepergiaannya ke Diyar, ia
mendapatkan hadiah sebagai balasan atas puisi-puisi yang telah diucapkannya
dengan indah kepada bani ‘Amr.
Louis
seorang orientalis barat, menganggap bahwa penyair ini penganut Nasrani, ia
berpendapat dengan kesukaan al-A’sya dalam menyusun lagu-lagu rohani. Puisi
madah-nya banyak memuji para uskup Najran, dan kebanyakan bait-bait puisi-nya
berkaitan dengan orang-orang nasrani di Hirah. Namun, hal ini tidak dapat
dibenarkan, karena kepercayaan Nasrani telah lama dianut dan merupakan agama
nenek moyang. Sehingga setelah ia menerima ajaran ini, kebiasaan buruk dalam
melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan telah ada pada diri al-A’sya. Hal ini
dapat dilihat jelas dalam puisi-nya yang banyak menggambarkan kesenangannya
akan mabuk-mabukkan dan pencinta harta. Dan untuk meneliti lebih lanjut tentang
puisi al-A’sya dapat dilihat dalam kitab Sy’ir was Syuara’ karya Ibnu
al-Qutaibah, kitab al-Jamhara, dan kitab al-Aghany karya al-Asfahany.
Puisi-Puisinya
Kumpulan
puisi al-A’sya banyak diterbitkan oleh Jayir di London pada tahun 1928. Jayir
menyalinnya dari Isykuriyal yang diambil dari Tsa’labah pada tahun 291 H. Sebagian
dari puisi-nya juga diterbitkan oleh Daar al-Kutub, Mesir. Jumlah kasidahnya
tidak kurang dari 77 bait kasidah, ditambah lagi l15 kasidah yang tidak
diketahui asalnya, tetapi diyakini sebagai puisinya. Namun, kemungkinan besar
puisi pilihan itu dikumpulkan oleh Tsa’labah. Selanjutnya Daar al-Kutub
menemukan 40 bait kasidah al-A’sya yang diambil dari salinan di kantor
perwakilan Yaman. Hal ini diketahui dari kalimat pendahuluan oleh penyusun
diwan-nya.
Puisi-puisi
al-A’sya memiliki ciri khas tersendiri, seperti pemakaian kasidah yang panjang,
sebagaimana yang terlihat dalam puisinya terdapat pemborosan kata-kata.
Puisinya banyak mengandung pujian, sindiran atau ejekan, kemegahan atau
kebesaran, kenikmatan khamr (arak), menggambarkan atau melukisakan sesuatu, dan
mengenai percintaan.
Tidak
seperti penyair lainnya, dalam hal pengungkapan puisi madah, al-A’sya hanya
ingin berusaha mendapatkan pemberian atau hadiah, seperti dalam pengembaraannya
kesebagian jazirah Arab, yaitu untuk memuji para pemimpin dan pejabat di sana.
Pemberian atau hadiah itu dapat berupa unta, budak perempuan, piring yang
terbuat dari logam perak, atau pakaian yang terbuat dari kain sutera yang
bermotif lukisan.
Dalam
puisi madah-nya banyak mengisahkan mengenai kemuliaan, keberanian, kesetiaan,
pertolongan terhadap kaum lemah, dan pujian terhadap tentara yang berlaga di
medan peperangan. Puisi madah-nya banyak mengandung ungkapan-ungkapan yang
dikeluarkan secara bebas (spontanitas). Oleh karena itu, al-A’sya juga ditakuti
akan ketajaman lidahnya, karena bila seseorang telah mendapatkan pujian
darinya, maka orang itu akan enjadi terkenal.
Dalam
suatu riwayat, diceritakan bahwa di kota Mekkah ada seorang miskin yang bernama
Muhallik, orang itu mempunyai tiga orang puteri yang belum mempunyai jodoh
dikarenakan kemiskinan mereka. Pada suatu waktu, keluarga ini mendengar
kedatangan al-A’sya di Mekkah, maka isterinya meminta kepada suaminya untuk
mengundang al-A’sya ke rumahnya. Setelah al-A’sya datang ke rumah miskin itu,
maka isterinya memotong seekor unta untuk menjamu al-A’sya. Penyair ini sangat
heran dengan kedermawanan orang miskin ini. Ketika ia keluar dari rumah itu, ia
langsung pergi ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul untuk mengabadikan
kedermawanan Muhallik dalam suatu bait puisinya yang sangat indah. Setelah ia
membacakan puisi itu, maka banyak orang yang datang meminang ketiga puteri
Muhallik. Adapun bait puisi yang diucapkan al-A’sya seperti dibawah ini[1]:
ارقت وما هذا السّهاد والمؤرّق
¤ وما بى من سقم وما بى تعشّق
لعمرى قد لاحت عيون كثيرة
¤ الى ضوء نار فى اليفاع تحرق
تشبّ لمقرورين يصطليانها
¤ وبات على النار الندى والمحلّق
رضيعى لبان ثدى أمّ تقاسما
¤ باسحم داج : عوض لا نتفرّق
ترى الجود يجرى ظاهرا فوق وجهه
¤ كما زان متن الهند وإنى رونق
يداه يدا صدق : فكفّ مبيدة
¤ وكفّ إذا ما ضنّ بالمال ينفق
“Aku
tidak dapat tidur di malam hari, bukan karena sakit ataupun cinta”
“Sungguh
banyak mata yang melihat api yang menyala di atas bukit itu”
“Api
itu dinyalakan untuk menghangatkan tubuh kedua orang yang sedang kedinginan di
malam itu, dan di tempat itulah Muhallik dan kedermawanannya sedang bermalam”
“Di
malam yang gelap itu keduanya saling berjanji untuk tetap bersatu”
“Kamu
lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan”
“Kedua
tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk
berderma”
Di
dalam suatu riwayat lain juga diceritakan bahwa ketika al-A’sya mendengar
diutusnya Nabi Muhammad Saw dan berita mengenai kedermawanannya, maka penyair
ini sengaja datang ke kota Mekkah dengan membawa suatu kasidah yang telah
dipersiapkan untuk memuji Nabi Muhammad Saw. Namun, sayang sekali maksud baik
ini dapat digagalkan oleh pemuka bangsa Quraisy.
Ketika
Abu Sufyan mendengar kedatangan al-A’sya, Abu Sufyan langsung berkata kepada
para pemuka Quraisy: “Demi Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan
memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti
Muhammad. Karena itu, sebelum itu terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan
berikan kepadanya agar tidak pergi menemui Muhammad”. Kemudian, saran Abu
Sufyan ini, dituruti oleh bangsa Quraisy, yang akhirnya al-A’sya mengurungkan
niatnya untuk bertemu dengan beliau. Adapun puisi yang telah dipersiapkan
olehnya untuk memuji Nabi Muhammad Saw. seperti dibawah ini[2]:
فآليت لا ارثى لها من كلالة
¤ ولا من حفى حتّى تلاقى محمدا
متى ما تناخى عند باب ابن هاشم
¤ تراخى وتلقى من فواضله ندى
نبىّ يرى ما لا يرون وذكره
¤ اغار (لعمرى) فى البلاد وانجدا
له صدقات ما تغب ونائل ¤
وليس عطاء اليوم يمنعه غدا
”Demi
Allah, onta ini tidak akan aku kasihani dari keletihannya, dan dari sakit
kakinya sebelum dapat bertemu dengan Muhammad”
“Nanti
jika kau telah sampai ke pintu Ibnu Hasyim, kau akan dapat beristirahat dan
akan mendapatkan pemberiannya yang berlimpah-limpah”
“Seorang
Nabi yang dapat mengetahui sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mereka, dan
namanya telah tersiar di seluruh negeri dan di daerah Nejed”
“Pemberiannya
tidak akan terputus selamanya, dan pemberiaannya sekarang tidak akan mencegah
pemberiannya di hari esok”
THARAFAH
BIN ABDUL BAKRI AL-WA’ILLI
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Amru
bin al-`Abd al-Bakri adalah salah seorang tokoh terkemuka pada zaman
Jahiliyyah, dan berumur pendek. Ia juga seorang penyair yang memiliki
puisi-puisi panjang dan indah, dan yang paling bagus dalam melukiskan unta
dalam puisinya. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil, kemudian ia
diasuh oleh para pamannya. Ia cenderung melakukan hal-hal yang buruk, hidup
berfoya-foya, dan suka mengambil hak milik orang lain, sehingga keluarga dan
kaumnya mencercanya, bahkan Amru bin Hindun salah seorang raja Arab yang
memimpin kerajaan Hirah pun ikut mencercanya, meskipun ia mencari kebajikan dan
pemberian raja tersebut.
Sampailah
berita kepada Amru bin Hindun tentang cercaan Tharafah kepadanya, maka Amru bin
Hindun pun membencinya. Ketika Tharafah datang kepadanya bersama pamannya,
al-Multamis, untuk meminta hadiah, sementara Amru bin Hindun telah mendapat
kabar tentang al-Multamis seperti kabar tentang Tharafah.
Akan
tetapi, agar kebencian Amru bin Hindun tetap memperlihatkan sikap ceria dan
kesukaan mereka keduanya. untuk menenangkan mereka berdua dan memerintahkan
kepada masing-masing mereka diberi hadiah. Sang raja menulis surat untuk
masing-masing mereka yang ditujukan kepada Gubenur Bahrain untuk melaksanakan
isi surat itu. Ketika keduanya dalam perjalanan menuju Bahrain, al-Multamis
merasa curiga dengan surat itu, lalu ia menghentikan perjalanannya dan meminta
salah seorang budak untuk membacakan isi surat itu. Namun, Tharafah tidak mau
berhenti, ia terus melanjutkan perjalanannya. Setelah dibuka ternyata isi surat
itu adalah perintah kepada Gubenur Bahrain untuk membunuh mereka berdua.
Al-Multamis melemparkan surat itu dan bermaksud menyusul Tharafah, tetapi tidak
dapat tersusul, lalu ia melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja
Ghassan. Sementara itu, Tharafah terus melanjutkan perjalanannya untuk
menjumpai Gubenur Bahrain. Di sanalah ia terbunuh dalam usia sekitar dua puluh
lima tahun.
Puisi-Puisinya
Tharafah
menciptakan puisi sejak ia masih kanak-kanak dan dia muncul dalam bidang itu
sehingga dalam usia belum mencapai dua puluh tahun ia sudah terhitung sebagai
tokoh penyair terkemuka. Puisi panjangnya yang melukiskan unta uang terdiri
dari 35 bait, merupakan puisi yang belum pernah ada seorang penyair pun yang
menciptakan puisi seperti itu sebelumnya. Mu’allaqat-nya termasuk mu’allaqat
yang paling indah, paling banyak memuat kata-kata unik, sarat dengan makna, dan
tepat dalam penempatan kata (diksi). Diriwayatkan pula selain mu’allaqat, puisinya
ada berbentuk lain, tetapi sangat sedikit bila dibandingkan dengan
populeritasnya. Kiranya hal ini menunjukkan kepada kenyataan bahwa perawi itu
tidak mengetahui lebih banyak mengenai puisinya atau dengan kata lain mereka
(para perawi) kehilangan jejak dari kebanyakan puisi Tharafah.
Tharafah
bagus sekali ketika memaparkan washf dalam puisinya, dengan singkat dan
menjelaskan hakekat dengan tujuan yang melampaui batas, terikat dalam sebagian
susunan kata dan lepas bebas dalam penjelasan kata dan makna yang tersembunyi.
Demikian pula puisi hija’-nya (cercaan) nadanya keras sekali. Bait puisi
mu’allaqat-nya adalah:
لخولة أطلال ببرقة ثهمد ¤
تلوح كباقى الوشم فى ظاهر اليد
”Untuk
mengenang Khaulah ada reruntuhan di tanah berbatuan Tsahmada yang menyembul bagai
kulit mengeras di permukaan telapak tangan”
Di
antara bait-bait puisinya yang paling indah adalah:
أرى الموت يعتام الكرام ويصطفى
¤ عقيلة مال الفاحش المتشدد
ألاى العيش كنـزا ناقصا كل ليلة
¤ وما تنقص الأيام والدهر ينفد
لعمرك إن الموت (ما أخطأ الفتى)
¤ لكالطول المرخى وثنياه باليد
متى ما يشأ يوما يقده لحتفه
¤ ومن يك فى حبل المنية ينقد
“Aku
melihat sang maut memilih orang mulia sejati, juga memilih orang mulia karena
harta yang dia dapatkan melalui perbuatan jahat dan kejam”
“Aku
lihat kehidupan adalah harta simpanan yang terus berkurang setiap malam”
“Demi
Tuhan pemberi usiamu, sungguh sang maut itu (tidak akan menerkam pemuda)
sungguh, dia bagaikan tali pengikat binatang yang salah satu ujungnya di
genggaman tangan”
“Di
suatu hari, kapan saja dia mau, dia akan menyeretmu, barang siapa dalam ikatan
kematian, dia pasti akan mati”
Di
antara bait-bait puisinya yang tersebar luas di tengah-tengah masyarakat
adalah:
وظلم ذوى القربى أشد مضاضة
¤ على المرء من وقع الحسام المهند
أرى الموت أعداد النفوس ولا أرى
¤ بعيدا غدا ما أقرب اليوم من غد
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا
¤ ويأتيك بالأخبار من لم تزود
“Orang
yang mendzalimi kerabat dekat lebih jahat daripada tusukan panah beracun”
“Kulihat
sang maut merenggut jiwa-jiwa dan esok hari tidak kulihat sebagai saat yang
jauh, betapa dekatnya hari ini dari hari esok”
“Hari-hari
akan memperlihatkan kepadamu apa yang dulu kau tidak ketahuim, akan datang
kepadamu dengan membawa berbagai berita
قد يبعث الأمر الصغير كبيره
¤ حتى تظل له الدماء تصبب
”Kadang
kala persoalan kecil tumbuh menjadi besar, hingga karenanya darah pun terus
mengucur”
Di
antara puisi-puisi fakhr-nya adalah:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى
¤ لا ترى الآدب فينا ينتقر
حين قال الناس فى مجلسهم
¤ أقتار ذاك أم ريح قطر
بجفان تعترى نادينا ¤ من
سديف حين هاج الصنبر
كالجوانى لاتنى مترعة ¤
لقرى الأضياف أو للمتحضر
ثم لا لا يخزن فينا لحمها
¤ إنما يخزن لحم المدخر
ولقد تعلم بكر أننا ¤ آفة
الجزر مساميح يسر
ولقد تعلم بكر أننا ¤
فاضلو الرأى وفى الروع وقر
يكشفون الضر عن ذى ضرهم ¤
ويبرون على الآبى المبر
فضل أحلامهم عن جارهم ¤
رحب الأذرع بالخير أمر
ذلق فى غارة مسفوحة ¤
ولدى البأس حماة ما نفر
نمسك الخيل على مكروهها ¤
حين لا يمسكها إلا الصير
“Di
musim paceklik, kami mengundang semua orang ke perjamuan, dan kamu tidak akan
melihat para pejamu dari kami memilih-milih orang yang diundang”
“Di
kala orang-orang berkata di tempat duduk mereka, apakah ini aroma daging bakar
atau harum kayu cendana?”
“Kami
tahu dan anggota perkumpulan kami pada datang mengerumuni perapian berminyak
lemak kala dingin kian menusuk”
“Bagaikan
telaga besar yang airnya terus mengalir untuk memuliakan para tamu atau untuk
orang-orang yang hadir bersama kami”
“Lalu
daging-daging itu tidaklah kami simpan yang disimpan hanyalah daging yang
dikeringkan”
“Kabilah
Bakr sungguh telah tahu bahwa kami mudah menyembelih kambing dan mudah
berderma”
“Kabilah
Bakr sungguh telah bahwa kami mengutamakan akal, sehingga dalam menghadapi
bencana tidak terguncang”
“Kami
dapat menyingkap bencana dari mereka yang dihimpit oleh kesulitan dan kami
mampu mengalahkan orang-orang yang sebelumnya tidak terkalahkan”
“Mimpi-mimpi
mereka lebih unggul daripada tetangga mereka tangannya luas dengan berbagai
kebajikan”
“Bersegera
menghunus pedang maju ke medan perang untuk menumpahkan darah, menghadapi
keganasan medan perang tetap tegar tidak melakukan desersi”
“Memegang
teguh kendali kuda, walaupun kuda itu menjadi semakin liar, yang mampu
mengendalikannya saat itu hanyalah orang-orang yang tangguh”
‘AMR
BIN KULTSUM
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Aswad ‘Amr bin Kultsum bin Malik at-Taghlibi dari
kabilah Taghlib. Lahir dari kalangan keluarga bangsawan dan juga sangat ahli
dalam menunggang kuda. Penyair ini merupakan seorang tokoh Arab dan penyair
yang terkenal dengan puisinya yang tersendiri dan yang bagus sekali dalam puisi
fakhr-nya. Ibunya bernama Laila binti Muhalhil, saudara Kulaib.
Di
dalam lingkungan kabilah Taghlib di Jazirah Euphrat, Amru tumbuh dan berkembang
sebagai sosok yang pemberani dan penuh semangat serta sebagai orator yang
memiliki sifat-sifat mulia. Dia telah menjadi pemimpin kaumnya dalam usia lima
belas tahun, dan memimpin pasukan perangnya yang selalu mendapatkan kemenangan
dalam berbagai peperangan mereka.
Kebanyakan
kekacauan dan peperangan yang dihadapi kabilah Taghlib adalah peperangan dalam
menghadapi saudaranya sendiri, yaitu kabilah Bakr bin Wail yang menyebabkan
terjadinya peperangan sengit yang terkenal dengan al-Basus. Perdamaian terakhir
mereka adalah di tangan Amru bin Kultsum. Raja Hirah terakhir dari keluarga
al-Mundzir. Tidak selang beberapa lama setelah perjanjian perdamaian terwujud,
terjadilah perhelatan dan pesta besar di tempat Amru bin Kultsum, yang dalam
acara itu para penyair kabilah Bakr, yaitu Al-Harist bin Hiliziah mendendangkan
puisi terkenalnya.
Begitu
selesai acara tersebut, tampaklah bagi Amru bin Kultsum bahwa Ibnu Hindun
mengincar kerajaan bersama kabilah Bakr. Amru bin Kultsum pun pulang dengan
hati penuh kecurigaan. Kemudian terbetiklah dalam hati Ibnu Hindun untuk
memecah belah kekuatan kabilah Taghlib dengan menghinakan pemimpinnya, yaitu
Amru bin Kultsum. Kemudian Ibnu Hindun mengundang Amru bin Kultsum dan ibunya,
Laila binti Muhalhil, dan mengelabui ibunya untuk membantunya dalam
menyelesaikan salah satu urusannya. Laila berteriak: “Oh, alangkah hinanya!”.
Teriakan ibunya itu membuat Amru bin Kultsum marah dan seketika itu juga ia
membunuh Ibnu Hindun di Majelis pertemuannya. Selanjutnya Amru bin Kultsum
segera pergi, kembali ke negerinya di al-Jazirah, dan menyusun mu’allaqat-nya,
yang bait awalnya berbunyi:
ألا هبى بصحتك فاصبحينا ¤
ولا تبقى خمور الأندرينا
“Ingatlah,
hidangkan gelas anggurmu, kita minum di pagi hari ini dan tidak menyisakan
sedikit pun khamr (arak) buatan Andarina”
Dalam
mu’allaqat-nya ia melukiskan peristiwa mengenai dirinya dengan Ibnu Hindun, ia
membanggakan pertempuran-pertempuran kaumnya dan peperangan-peperangan mereka
yang terkenal. Ia juga berorasi di pasar Ukadz dan pasar-pasar lainnya. Anak
keturunan Taghlib banyak yang menghafal puisinya dan banyak orang yang
meriwayatkannya. Amru bin Kultsum meninggal dunia sekitar setengah abad sebelum
lahirnya Islam.
Puisi-Puisinya
Amru
bin Kultsum termasuk orang besar, bangsawan, dan pahlawan bangsa Arab
Jahiliyyah yang lebih disibukkan dengan tugas-tugasnya sebagai pemimpin dan
terjun di medan peperangan daripada berkonsentrasi untuk berpuisi dan membuka
pintu-pintunya seperti kebiasaan para penyair yang menjadikan puisi-puisi
mereka sebagai profesi dan bisnis dalam mencari kekayaan. Oleh karena itu, Amru
bin Kultsum tidak terkenal kecuali dengan satu mu’allaqat-nya, yang menduduki
posisi sebagai puisi yang memenuhi persyaratan, karena kata-katanya indah,
komposisi ungkapannya begitu rapi, maknanya jelas, stil bahasanya mempesona,
dan kebanggannya tinggi dan tujunnya agung. Andaikan di dalam puisinya ia tidak
membanggakan dan tidak menyebut-nyebut warisan peninggalan kaumnya, puisinya
tidak akan diingat orang.
Di
riwayatkan juga puisi-puisi muqaththa’at (puisi-puisi pendek)-nya yang
tujuannya tidak jauh berbeda dengan tujuan-tujuan mu’allaqat-nya. Kiranya
populeritasnya dengan orasi tidaklah kurang dari populeritasnya dengan puisi.
Di antara puisi fakhr-nya yang tinggi dalam mu’allaqat-nya adalah:
وقد علم القبائل من معد ¤
إذا قبب بأبطحها بنينا
بأن المطعمون إذا قدرنا ¤
وأنا المهلكون إذا ابتلينا
وأنا المانعون لما أردنا
¤ وأنا النازلون بحيث شينا
وأنا التاركون إذا سخطنا
¤ وأنا الآخذون إذا رضينا
ونشرب إن وردنا الماء صفوا
¤ ويشرب غيرنا كدرا وطينا
إذا ما الملك سام الناس خسفا
¤ أبينا أن نقر الذل فينا
لنا الدنيا ومن أمسى عليها
¤ ونبطش حين نبطش قادرينا
بغاة ظالمين وما ظلمنا ¤
ولكنا سنبدأ ظالمينا
ملأنا البرّ حتى ضاق عنا
¤ ونحن البحر نملؤه سفينا
إذا بلغ الرضيع لنا فطاما
¤ تخر له الجبابر ساجدينا
”Kabilah-kabilah
telah mengetahui siapa yang berbahagia, jika berkemah di dataran luas kami pun
membangun perkemahan”
“Bahwa
kami adalah orang-orang yang bisa makan, bila kami mampu mendapatkan makanan”
“Dan
kami adalah orang-orang yang porak-poranda, bila kami tak henti dihantam
bencana”
“Kami
adalah orang-orang yang mampu menahan diri, tidak sembarangan menggapai apa
yang kami kehendaki, dan kami adalah orang-orang yang tinggal dimana kami suka,
“Dan
kami adalah orang-orang yang meninggalkan sesuatu bila kami tidak suka, dan
kami adalah orang-orang yang mengambil bila kami memang suka”
“Kami
minum bila menemukan sumber air yang jernih, sedangkan selain kami mau minum
dari air yang keruh bercampur tanah”
“Jika
seorang raja mengungguli manusia dengan perbuatan rendah, maka kami akan
menolak dan tidak membiarkan diri kami berbuat rendah”
“Kami
memiliki dunia dengan semua orang yang berada di atasnya, kami berkuasa ketika
kami mampu menguasai”
“Orang-orang
dzalim berbuat kejam dan kami tidak mau mendzalimi, tetapi kami akan mulai
melawan orang-orang yang mendzalimi kami”
“Kami
telah memenuhi daratan sehingga kami merasa sesak terjepit, dan kami memenuhi
lautan dengan perahu-perahu kami”
“Bila
bayi di kalangan kami mencapi usia dipisah dari menyusuinya, orang-orang
perkasa pilihan pada tersungkur bersujud padanya”
Amru
bin Kultsum berkata mengancam Amru bin Hujr al-Ghassani:
ألا فاعلم (أبيت اللعن) أنا
¤ على عمد سنأتى ما نريد
تعلم أن محملنا ثقيل ¤
وأن ذياد كبتنا شديد
وأنا ليس حتى من معد ¤
يوازننا إذا لبس الحديد
”Ingatlah
dan ketahuilah (kau tak akan mau melakukan sesuatu perbuatan yang membuat kau
dikutuk orang) dan sesungguhnya kami, kapan pun kami mau akan sengaja datang”
“Kau
tahu bahwa pelana kami sangatlah berat, dan serangan pasukan kami sangatlah kuat”
“Dan
bahwasanya kami tidak hidup dari persiapan yang kami pertimbangkan bila baju
besi dikenakan”
بأيّ مشيئة عمرو بن هند ¤
نكون لقيل لقيلكم فيها قطينا
بأيّ مشيئة عمرو بن هند ¤
تطيع بنا الوشاة وتزدرينا
”Wahai
Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau menjadi pelayan para pembantumu”
“Wahai
Amr bin Hindin, mana mungkin kami mau taat kepada orang-orang hina, dan engkau
sendiri telah mengetahui siapa kami”
Puisi
di atas diucapkan oleh Amr bin Kultsum kepada Amr bin Hindin, seorang raja yang
zalim dan sombong. Ia menghina ibu amr bin Kultsum dengan menjadikan ibunya
sebagai pelayan ibu Amr bin Hindin, sehingga Amr bin Kultsum marah dan
membunuhnya dengan sebilah pedang. Dalam puisinya di bawah ini[2]:
إذا بلغ الفطام لنا صبيّ
¤ تخرّ له الجبابر ساجدينا
”Apabila
anak kita sudah sampai waktu penyapihan (berhenti menyusu), maka orang-orang
besar dan sombong akan tunduk sujud kepadanya”
ANTARAH
BIN SYADDAD AL-ABSI
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Penyair
ini dilahirkan dari ayah seorang bangsawan Absi dan ibu dari kalangan budak
Habsyi. Ia mewarisi kulit hitam dari ibunya, sehingga orang mengira ia bukan
berdarah Arab, bibirnya terbelah (memble) seperti ibunya, sehingga orang sering
memanggilnya dengan julukan Antarah al-Falha’u yaitu “Antarah si bibir
memble”. Dalam adat-istiadat Jahiliyyah, anak yang terlahir dari ibu seorang
budak, tidak akan mendapatkan pengakuan dari sang ayah, kecuali dia dapat
memiliki sifat mulia berupa kedermawanan dan keberanian. Oleh karena itu, ayah
penyair ini tidak mau mengakuinya sebagai anak kandung, bahkan menganggapnya
sebagai seorang budak yang dapat disuruh untuk mengembala ternak. Perlakuan
ayahnya itu, telah membuat hati penyair ini sangat tertekan. Bahkan pamannya
sendiri telah ikut menghalangi puteri yang bernama Ablah untuk bercinta
dengannya, sebab pamannya menganggap bahwa tidaklah pantas mengawinkan
puterinya dengan seorang anak budak.
Tekanan-tekanan
psikologis itu telah membuatnya keras terhadap semua orang, bahkan terhadap
ayahnya sendiri. Kebenciaannya terhadap sang ayah, terlihat ketika ayahnya
memerintahkannya untuk berperang melawan musuh yang datang menyerbu, mendengar
ajakan ayahnya itu, ia berkata[1]:
“Sesungguhnya
seorang budak tidaklah layak untuk berperang, tetapi hanya layak untuk menjaga
ternah dan memerah susu saja”.
Ucapan
Antarah tersebut dirasakan oleh ayahnya sebagai penderitaan batin seorang anak,
maka setelah mendengar ucapannya itu, akhirnya sang ayah mengakuinya sebagai
anak, dengan berkata: “Berperanglah kamu, karena sesungguhnya kamu adalah
seorang yang merdeka (bukan lagi seorang budak)”. Dan sejak saat itu nama nasab
orang tuanya selalu diikutkan dengan nama asli penyair ini. Dan sejak itu pula
nama penyair ini selalu disebut orang dalam segala macam pertempuran.
Keberanian
Antarah mengilhami keberanian orang Arab dalam berperang di dalam maupun di
luar jazirah Arab, seperti ketika melawan Romawi, Ethopia, Iran, Perancis,
Afrika Utara, dan Andalus melawan tentara Salib. Bahkan dengan namanya yang
agak terdengar angker, penyair ini lebih dikenal sebagai seorang pahlawan yang
amat ditakuti oleh lawan-lawannya. Sehingga pribadi penyair ini, kelak pada
masa Daulat Fatimiyyah, sering diagungkan dengan penulisan kisah kepahlawanan
yang dinisbatkan kepada pribadi penyair ini.
Puisi-Puisinya
Pada
mulanya penyair ini tidak terkenal sebagai penayir ulung, tetapi untungnya
sejak muda penyair ini telah menyimpan bakat untuk berpuisi. Dan bakat inilah
yang mendorong untuk meningkatkan prestasinya dalam berpuisi. Kebanyakan
puisinya dikumpulkan dalam mu’allaqadnya yang sangat panjang.
Adapun
penyebab yang mendorongnya untuk mencipatakan mu’allaqadnya adalah bahwa pada
suatu hari penyair ini diejek orang di majelis ayahnya setelah diakuinya
sebagai anak oleh ayahnya, di mana ia diejek dari keturunan ibunya yang
merupakan seorang budak, sehingga membuatnya marah dan berkata:
“إنى لاحضر البأس واوفى المغنم واعفّ عند
المسئلة واجود بما ملكت يدى وأفصّل الخطة والصّماء, قال له الرجل : “أنا أشعر منك”
قال: “ستعلم ذلك”
“Aku
adalah seorang yang gemar menghadiri pertempuran, aku adalah orang yang paling
adil, dan aku tidak pernah meminta dan aku selalu dermawan dengan yang kumiliki
dan aku adalah pembuka jalan buntu. Orang yang menejeknya berkata: “Aku lebih
fasih dalam berpuisi daripada kamu”. Lalu Antarah berkata: “Akan kamu lihat
kelak kefasihanku!”
Sejak
saat itu, Antarah mulai merangkum kasidah mu’allaqadnya yang mengisahkan
percintaan dengan kekasihnya yang bernama Ablah. Selain itu, ia juga
mengisahkan tentang keberanian dan keagungan dirinya dalam medan pertempuran.
Para
ahli sastra Arab menggolongkan puisi Antarah ke dalam kelas tertinggi dalam
menggambarkan dan mensifati segala kejadian yang dialaminya. Dalam salah sati
bait puisinya, penyair ini menerangkan kepada kekasihnya bahwa ia adalah
seorang yang baik bila ia tidak diganggu dan dirampas miliknya. Akan tetapi,
jika ia diganggu, maka ia akan membalas perbuatan orang itu dengan kekerasan
yang dapat dijadikan pelajaran selama hidup orang yang menggangunya. Seperti
contoh di bawah ini[2]:
اثنى عليّ بما علمت فإننى
¤ سمح مخالفتى اذا لم اظلم
واذا أظلمت فإنى ظلمى باسل
¤ مرّ مذاقته كطعم العلقم
“Pujilah
aku (wahai kekasihku) dari apa yang kamu ketahui dari kelakuan baikku.
Sesungguhnya aku adalah seorang yang lemah lembut bila tidak dizalimi oleh
siapa pun”
“Namun,
jika aku dizalimi oleh seseorang, maka aku akan membalasnya dengan balasan yang
lebih keras dari kezalimannya”
Selain
itu penyair ini mempunyai sifat dermawan kepada siapa pun, karena sifat inilah
yang paling disukai oleh bangsa Arab dan selalu dibanggakan. Dalam hal ini
penyair ini menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang yang sangat dermawan dan
suka menolong orang lain walaupun itu dalam keadaan yang tidak sadar, seperti
dalam keadaan mabuk, yang mana biasanya dalam keadaan seperti itu tidak mungkin
seorang akan berlaku baik ataupun berderma. Namun, penyair ini masih tetap bisa
melakukan kebaikan dan berderma walaupun dalam keadaan mabuk, hal itu dapat
dilihat dari bait puisinya di bawah ini[3]:
فإذا شربت فإننى مستهلك ¤
مالى وعرضى وافر لم يكلم
وإذا صحوت فما أقصّر عن ندى
¤ وكما علمت شمائلى وتكرّمى
“Jika
aku sedang minum arak, maka aku akan menghabiskan seluruh hartaku untuk menjamu
kawan-kawanku, dan hal itu tidak akan merusak kehormatanku”
“Dan
jika aku telah sadar dari mabukku, maka aku akan menghamburkan hartaku untuk
berderma, sebagaimana telah kamu ketahui akan budi perkerti baikku ini
(berbanggalah wahai kekasihku dengan segala budi pekertiku seperti ini)”
Antarah
selain terkenal sebagai penyair ulung, juga terkenal sebagai seorang pahlawan
yang gagah berani di medan peperangan. Gambaran akan kegagahannya dalam
berperang dapat dilihat dalam bait puisi di bawah ini[4]:
هلاّ سألت الخيل ياابنة ملك
¤ إن كنت جاهلة بما لم تعلمى
إذ لا أزال على رحالة سابح
¤ نهد تعاوره الكماة مكلّم
طورا يجرّد للطّعان وتارة
¤ يأوى إلى حصد القسىّ عرمرم
يخبرك من شهد الوقيعة أنّنى
¤ اغشى الوغى واعفّ عند المغنم
ومدجّج كره الكماة نزاله
¤ لا ممعن هربا ولا مستسلم
جادت له كفّى بعاجل طعنة
¤ بمثقّف صدق الكعوب مقوّم
فشككت بالرّمح الأصمّ ثيابه
¤ ليس الكريم على القنا بمحرّم
فتركته جزر السّباع ينشنه
¤ يقضمن حسن بنائه والمعصم
“Wahai
puteri Malik, tidakkah engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku di
medan peperangan, jika engkau tidak tahu?”
“Tidakkah
engkau tanyakan kepada ksatria itu tentang diriku ketika aku sedang berada di
atas kuda yang dilukai oleh musuh?”
“Ada
kalanya aku bawa kuda itu untuk menyerang musuh, namun adakalanya aku membawa
kudaku untuk bergabung dengan pasukan yang banyak”
“Jika
kamu bertanya tentang diriku pada orang yang hadir dalam peperangan itu, maka
mereka akan memberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang selalu maju
(berada di depan) dalam setiap peperangan dan aku orang yang tidak tamak dalam
pembagian rampasan perang”
“Adakalanya
ada ksatria yang berani dan sangat ditakuti oleh musuhnya dan tidak mau
menyerah”
“Namun
tanganku buru-buru menerkamnya dengan tusukan tombak yang kuat”
“Dan
ketika ksatria itu aku tusuk dengan tombak yang keras, yang dapat menembus baju
jirahnya. Dan orang bangsawan pun tidak mustahil untuk terbunuh”
“Setelah
ksatria itu terbunuh, maka aku tinggalkan begitu saja agar menjadi santapan
binatang buas yang akan menghancurkan jari tangan dan lengannya yang bagus itu”
Sebenarnya
kita masih dapat mengikuti puisinya yang menerangkan keagungan pribadi penyair
ini, untuk itu dapat kita lihat dalam kasidah al-Mu’allaqat-nya yang panjang.
ZUHAIR
BIN ABI SULMA
Nasab
Keluarga Dan Kabilah
Nama
lengkapnya adalah Zuhair bin Abi Sulma bin Rabi’ah bin Rayyah al-Muzani.
Ayahnya bernama Rabi’ah yang berasal dari kabilah Muzainah. Pada zaman
Jahiliyyah kabilah ini hidup berdekatan dengan kabilah bani Abdullah Ghatafaniyyah
yang menghuni di daerah Hajir, Nejed, sebelah timur kota Madinah. Kabilah ini
juga bertetangga dengan kabilah Bani Murrah bin Auf bin Saad bin Zubyan. Ia
adalah salah seorang dari tiga serangkai dari penyair Jahiliyyah setelah Umru
al-Qais dan An-Nabighah az-Zibyani. Penyair ini amat terkenal karena kesopanan
kata-kata puisinya. Pemikirannya banyak mengandung hikmah dan nasehat. Sehingga
banyak orang yang menjadikan puisi-puisinya itu sebagai contoh hikmah dan
nasehat yang bijaksana.
Rabi’ah
bersama isteri dan anak-anaknya tinggal dalam lingkungan kabilah Bani Murrah
(kabilah Zubyan) dan kabilah Bani Abdullah Ghatafaniyyah. Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah lagi dengan Aus bin Hujr, seorang penyair terkenal
dari Bani Tamim. Sementara Zuhair dan saudara-saudaranya, Sulma dan al-Khansa`,
diasuh oleh Basyamah bin al-Ghadir, paman mereka yang juga seorang penyair.
Dengan demikian Zuhair adalah keturunan kabilah Muzainah yang dibesarkan di
tengah-tengah kabilah Bani Ghatafaniyyah.
Dibesarkan
Dalam Lingkungan Penyair
Zuhair
dibesarkan dalam keluarga penyair dan sejak kecil ia belajar puisi dari
pamannya sendiri yang bernama Basyamah bin al-Ghadir dan Aus bin Hujur.
Basyamah termasuk tokoh Arab Jahiliyyah yang terhormat, kaya-raya, dan sangat dihormati
oleh kaumnya. Di samping sebagai penyair, Basyamah juga seorang yang cerdas dan
memiliki pendirian yang lurus, dia menjadi tempat bertanya kaumnya dalam
menghadapi berbagai persoalan. Ketika ia meninggal dunia, seluruh hartanya
diwariskan kepada keluarganya termasuk kepada Zuhair. Disamping mendapatkan
harta warisan, Zuhair juga mendapatkan warisan kemampuan berpuisi dan kemuliaan
akhlak yang diajarkan Basyamah.
Zuhair
bin Abi Sulma, tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga penyair. Rabi’ah
ayahnya, Aus bin Hujr ayah tirinya, dan Basyamah pamannya, mereka ada para
penyair, dan saudaranya Sulma dan al-Khansa`, mereka berdua juga penyair. Oleh
karena itulah ia sudah terkenal pandai berpuisi sejak kecil. Selain terkenal
akan bakat puisi yang dimilikinya sejak kecil, ia juga disenangi oleh seluruh
kaumnya akan budi pekertinya yang luhur, sehingga setiap pendapat yang
dikeluarkannya selalu diterima baik oleh kaumnya.
Zuhair
menikah dengan dua orang wanita, pertama dengan Ummu Aufa, yang banyak
disebut-sebut dalam puisinya, termasuk dalam mu’allaqat-nya. Kehidupan rumah
tangganya bersama Ummu Aufa kurang bahagia, dan itu terjadi setelah Ummu Aufa
melahirkan anak-anaknya yang kesemuanya meninggal dunia, lalu ia pun
menceraikannya. Setelah itu ia menikah lagi dengan Kabsyah binti ‘Amr
al-Ghatafaniyyah, dan dari isteri keduanya ini lahirlah putera-puteranya, yaitu
Ka’ab, Bujair, dan Salim. Salim meninggal dunia ketika Zuhair masih hidup,
sehingga banyak dari puisinya yang menggambarkan ratapannya terhadap kematian
anaknya itu. Sedangkan Ka’ab dan Bujair, keduanya hidup sampai datangnya masa
Islam, dan mereka berdua masuk Islam dan juga menjadi penyair yang terkenal.
Hidup
Dalam Situasi Peperangan
Zuhair
hidup dalam masa terjadinya peperangan yang berlarut-larut selama 40 tahun
antara kabilah Abbas dan Bani Dzubyan, yang terkenal dengan peperangan Dahis
dan Gabra’. Dalam peristiwa perang ini, ia pun turut ambil bagian dalam usaha
mendamaikan dua suku yang sedang berperang tersebut. Dalam usaha perdamaian
itu, ia mengajurkan kepada para pemuka bangsa Arab untuk mengumpulkan dana guna
membeli tiga ribu ekor unta untuk membayar tebusan yang dituntut oleh salah
satu dari kedua suku yang sedang berperang itu. adapun yang sanggup menanggung
keuangan itu adalah dua orang pemuka bangsa Arab yang bernama Haram bin Sinan
dan Harits bin Auf. Sehingga berkat usaha kedua orang ini, peperangan yang
telah terjadi selama 40 tahun dapat dihentikan. Untuk mengingat kejadian yang
amat penting itu, Zuhair mengabadikan dalam salah satu puisi muallaqat-nya,
seperti di bawah ini[1]:
فاقسمت بالبيت الذى طاف حوله ¤
رجال بنوه من قريش وجرهم
يمينا لنعم السيّـــدان وجـدتما
¤ على كل حال من سحيل ومبرم
تداركتما عبسا وذبيان بعدمــا
¤ تفانوا ودقوا بينهم عطر منشم
وقد قلتما إن ندرك السلم واسعا
¤ بمال ومعروف من القول نسلم
فاصبحتما منها على خير موطن
¤ بعيدين فيها من عقوق ومأثـم
عظيمين فى عليا معدّ هديتمـا ¤
ومن يستبح كنـزا من المجد يعظم
“Aku
bersumpah dengan Ka’bah yang ditawafi oleh anak cucu Quraisy dan Jurhum”.
Aku
bersumpah, bahwa kedua orang (yang telah menginfakkan uangnya untuk perdamaian
itu) adalah benar-benar pemuka yang mulia, baik bagi orang yang lemah, maupun
bagi orang yang perkasa”.
“Sesungguhnya
mereka berdua telah dapat kesempatan untuk menghentikan pertumpahan darah
antara bani Absin dan Dhubyan, setelah saling berperang diantara mereka”.
“Sesungguhnya
mereka bedua telah berkata: “Jika mungkin perdamaian itu dapat diperoleh dengan
uang banyak dan perkataan yang baik, maka kami pun juga bersedia untuk
berdamai”.
“Sehingga
dalam hal ini kamu berdua adalah termasuk orang yang paling mulia, yang dapat
menjauhkan kedua suku itu dari permusuhan dan kemusnahan”.
“Kamu
berdua telah berhasil mendapatkan perdamaian, walaupun kamu berdua dari kelurga
yang mulia, semoga kalian berdua mendapatkan hidayah, dan barang siapa yang
mengorbankan kehormatannya pasti dia akan mulia”
Kemunculan
Zuhair Sebagai Penyair
Kemunculan
Zuhair sebagai penyair tidak lepas dari pengaruh guru-guru utamanya, yaitu
Rabi’ah ayahnya, Aus ibn Hujr ayah tirinya, dan Bisyamah pamannya. Dari ketiga
penyair itulah Zuhair didikkan dalam menciptakan puisi. Dia juga
meriwayatkan puisi-puisi dari ketiga penyair tersebut. Sebagai seorang yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga penyair, Zuhair pun kemudian
mendedikasikan hidupnya untuk puisi. Dia menciptakan puisi dan mengajarkan
penciptaan puisi kepada orang lain, terutama kepada kedua putranya Ka’ab dan
Bujair. Di antara penyair yang kemudian muncul dari hasil didikkannya, selain
kedua putranya adalah al-Khutaiyyah (Syauqi Dlaif, 1960:303).
Kalangan
para perawi puisi menyatakan bahwa Zuhair lambat dalam menciptakan puisi. Hal
itu dikarenakan dalam menciptakan puisi dia menempuh langkah-langkah:
penggagasan, pngolahan, dan penyeleksian (penyuntingan), sebelum kemudia puisi
tersebut dipublikasikan (dibacakan dihadapan khalayak ramai). Oleh karena
itulah kepadanya disandarkan kisah proses penciptaan puisi hauliyaat[2]. Hal itu dapat dilihat pula Ka’ab dan Al-khutaiyyah yang mengikuti
alirannya (Taha Husein, 1936: 284).
Keistimewaan
karyanya terletak pada kekuatan bahasa dan susunan kata-katanya, banyak
terdapat kata-kata asing (sulit) dalam puisinya, dia berupaya untuk mencari
hakekat makna asli untuk mengeluarkannya pada konkrisitas materi yang
sebenarnya. Dengan kekuatan akal dan wawasannya dalam penggambaran-penggambaran
dan imajinasinya. Pada umumnya, apa yang diungkapkannya tidaklah jauh dari
hakekat realitas yang konkret. Zuhair juga termasuk penyair masa Jahiliyyah
yang terkenal dalam pengungkapan kata-kata hikmah dan pribahasa. Dalam
kehidupannya ia terkenal dengan konsistensi dan kecerdasannya. Pendapatnya
sesuai dengan kehidupannya. Posisi kesusastraannya, menurut kebanyakan para
kritikus sastra Arab, dibangun atas hikmah dan kata-kata bijak yang dikenal
pada masanya (Karum al-Bustani, 1953:6).
Kepercayaan
Hanief
Pada
umumnya, masyarakat Arab masa Jahiliyyah adalah penganut kepercayaan berhala.
Meskipun demikian, Zuhair bin Abi Sulma termasuk penyair Arab Jahiliyyah yang
percaya akan adanya hari Kiamat, adanya Hisab (perhitungan amal perbuatan), dan
adanya siksaan serta balasan. Penyair ini memang tidak sempat merasakan masa
ketika diutusannya Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi, penyair ini sudah percaya
akan datangnya hari Kiamat dan hari pembalasan. Seperti terlihat pada bait
puisinya dibawah ini[3]:
فلا تكتمنّ الله ما فى نفوسكم
¤ ليخفى ومهما يكتم الله يعلم
يؤخر فيوضع فى كتاب فيدخر ¤
ليوم الحساب أو يعجل فينقم
“Janganlah
sekali-kali kalian menyembunyikan kepada Allah (penghianatan dan pelanggaran
atas sumpah kalian) dalam hati kalian dengan tujuan untuk menyembunyikannya,
tetapi ingatlah!! Walau kalaian sembunyikan, Allah maha mengetahui”.
“Ditangguhkan,
lalu dicatat dalam buku amal dan disimpan untuk kemudian diungkapkan di hari
perhitungan, atau disegerakan pembalasannya dalam kehidupan dunia ini”.
Jika
benar bait-bait puisi di atas dinisbatkan kepada Zuhair bin Abi Sulma, maka hal
itu dapat dijadikan petunjuk bahwa dia termasuk salah seoorang penyair masa
Jahiliyyah yang mempunyai kepercayaan yang hanief (lurus), dan kepercayaan
keberhalaannya diragukan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa dia termasuk
golongan orang-orang yang mengharamkan khamr (arak atau minuman keras), mabuk,
dan mengundi nasib dengan panah (Syauqi Dhoif, 1960:303). Zuhair berumur
panjang dan meninggal sekitar setahun sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat
menjadi Rasul.
Puisi-Puisinya
Kumpulan
puisi Zuhair telah diterbitkan bersama kumpulan-kumpulan puisi dari lima
penyair terkenal lainnya, yaitu Umru al-Qais, an-Nabighah, Tharafah, Antarah,
dan al-Qamah. Kumpulan puisi yang lain diterbitkan pada tahun 1889 dalam bentuk
serial yang berjudul “Tharafa Arabiyyah”, kemudian dicetak ulang di Mesir dan
di kota-kota lain yang diusahakan oleh Musthafa Saqa.
Ada
dua sumber mengenai kumpulan puisi Zuhair, Pertama, berasal dari ulama Basrah
yang mengatakan bahwa ada 18 kasidah, sebagaimana ada komentar yang berbunyi:
“Mencakup semua kasidah Zuhair yang sampai pada kita atas dasar riwayat yang
ada”. Adapun sumber kedua, berasal dari ulama Kufah yang mengatakan bahwa ada
tambahan sepuluh kasidah, tetapi bahwa tambahan itu adalah ulah tangan orang
lain.
Para
ahli sastra Arab berpendapat bahwa puisi Zuhair bin Abi Sulma termasuk ke dalam
katagori yang tinggi, dan hampir dapat disamakan dengan puisi Umru al-Qais dan
An-Nabighah az-Zibyani. Dalam hal itu mereka beralasan bahwa Zuhair memiliki
keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1.
Ijaz-nya bagus dan suka membuang tambahan pembicaraan serta kata-kata yang
kurang dipelukan, sehingga ia menciptakan sedikit kata banyak makna, seperti
dalam kata-katanya di bawah ini:
فما يك من خير أتوه فإنما
¤ توارثه آباء آبائهم قبل
“Tak
ada kebaikan yang mereka persembahkan. Sesungguhnya kebaikan yang mereka miliki
hanyalah warisan dari nenek moyang mereka sebelumnya”
2.
Madah-nya bagus dan menjauhi kedustaan di dalamnya. Dia tidak memuji seseorang
melainkan karena akhlaknya dan sifat-sifat terpuji yang diketahuinya, seperti
dalam kata-katanya di bawah ini:
على مكثريهم رزق من يعتريهم
¤ وعند المقلين السماحة والبذل
“Terhadap
mereka yang banyak hartanya ia sediakan pemberian untuk orang-orang yang
meminjam dari mereka. Pada orang yang berkurangan, ia sangat bertoleran dan
memberi bantuan”
3.
Kata-katanya jauh dari ta’qid (komplikasi) kata dan makna, serta jauh dari
pembicaraan yang tidak perlu dan asing (sulit dicari maknanya), seperti dalam
kata-katanya di bawah ini:
ولو أن حمدا يخلد الناس أخلدوا
¤ ولكن حمد الناس ليس بمخلد
“Jika
pujian dapat membuat seseorang menjadi abadi, mereka pun pasti akan abadi.
Tetapi, pujian orang-orang tidak akan bisa membuatnya abadi”
4.
Puisinya sedikit sekali mengandung kata-kata yang buruk. Oleh karena itu,
puisi-puisinya bersih dan sedikit sekali adanya cercaan di dalamnya. Pernah
suatu kali, ia mencerca suatu kaum, namun ia sedih dan menyesali apa yang telah
diperbuatnya.
5.
Banyak mengungkapkan amtsal (pribahasa) dan kata-kata hikmah, sehingga penyair
ini dianggap sebagai orang yang pertama dalam menciptakan kata-kata hikmah
dalam puisi Arab, yang kelak akan diikuti oleh penyair lainnya, seperti Shalih
bin Abdul Kudus, Abu al-Atahiyah, Abu Tamam, al-Mutanabby, dan Abu al-Ala’
al-Ma’ary dari kalangan Arab peranakan (al-Muwalidin). Di antara kata-katanya
yang berisikan amtsal dan kata hikmah seperti terdapat di bawah ini:
وأعلم ما فى اليوم والأمس قبله
¤ ولكنى عن علم ما فى غد عم
ومن يجعل المعروف من دون عرضه
¤ يفره ومن لا يتق الشتم يشتم
ومن يك ذا فضل فيـبخل بفضله
¤ على قومه يستغن عنه ويذمم
ومن يوف لايذمم ومن يهد قلبه
¤ إلى مطمئن البر لا يتجمجم
رأيت المنايا خبط عشواء من تصب
¤ تمته ومن تخطئ يعمّر فيهرم
ومن هاب اسباب المنايا ينلنه
¤ وإن يرق اسباب السماء بسلّم
ومن يجعل المعروف فى غير أهله
¤ يكن حمده ذماّ عليه ويندم
“Aku
dapat mengetahui segala yang terjadi pada hari ini dan kemarin, tetapi aku
tetap tidak akan tahu apa yang akan terjadi esok hari”
“Barang
siapa berbuat kebaikan dari kedalaman harga dirinya, ia akan terpelihara, dan
barang siapa yang tidak melindungi diri dari cercaan, ia akan
dicerca”
”Barang
siapa memiliki kelebihan harta, lalu ia bakhil (pelit) dengan hartanya itu
terhadap kaumnya, maka ia tidak akan berguna dan akan dicerca”
“Barang
siapa memenuhi kewajibannya, ia tidak akan dicerca, barang siapa hatinya
mendapat petunjuk menuju ketentraman dalam berbuat kebaikan, maka ia tidak akan
terguncang oleh ketegangan”
“Aku
lihat maut itu datang tanpa permisi terlebih dahulu, barang siapa yang
didatangi pasti akan mati, dan barang siapa yang luput dia akan mengalami
lanjut usia”.
“Barang
siapa yang takut mati, pasti ia akan bertemu juga dengan kematian itu, walaupun
ia naik ke langit dengan tangga”
“Barang
siapa yang menolong orang yang tidak berhak untuk ditolong, maka ia akan
menerima resikonya dan akan menjadikan penyesalan baginya”.
AN-NABIGHAH
ADZ-DZIBYANI
Nasab
Keluarga Dan Kabilahnya
Penyair
ini memiliki nama asli An-Nabighah Az-Zibyani Abu Umamah Ziyad bin Muawiyah.
Namun, ia lebih terkenal dengan panggilan an-Nabighah, yang berarti seorang
yang pandai berpuisi, karena memang sejak muda ia pandai berpuisi. An-Nabighah
merupakan salah seorang tokoh penyair terkemuka Arab Jahiliyyah dan juga
menjabat sebagai dewan hakim dalam perlombaan puisi yang diadakan di pasar
Ukadz.
Penyair
ini selalu berusaha mendekatkan dirinya kepada para pembesar dan menjadikan
puisinya sebagai alat yang paling ampuh untuk mendapatkan kedudukan dan
kekayaan. Oleh karena itulah ia kerapkali dihasut oleh lawannya.
An-Nabighah
termasuk salah seorang pemimpin para bangsawan kabilah Dzubyan, hanya saja
karena usahanya mendapatkan harta melalui puisi, mengurangi kemuliaannya.
Hampir seluruh umurnya, ia habiskan di kalangan keluarga raja Hira, sehingga
raja Hira yang bernama Nu’man bin Mundzir sangat cinta kepadanya, sehingga
dalam suatu riwayat dikatakan bahwa penyair ini di kalangan raja Hira selalu
memakai bejana dari emas dan perak, dan hal itu menunjukkan kedudukannya yang
tinggi di sisi raja Hira. Hal itu berlangsung cukup lama, sampai salah seorang
saingannya memfitnahnya dan menghasut Nu’man, sehingga ia marah dan
merencanakan untuk membunuh An-Nabighah. Salah seorang pengawal Nu’man secara diam-diam
menyampaikan berita tersebut, sehingga An-Nabighah pun segera melarikan diri
dan meminta perlindungan kepada raja-raja Ghossan yang menjadi saingan
raja-raja Manadzirah dalam memperebutkan penguasaan atas bangsa Arab.
Namun,
karena lamanya persahabatan yang ia jalin dengan Nu’man bin Mundzir,
An-Nabighah berusaha untuk membersikan diri atas fitnah yang ditujukan
kepadanya dan meminta maaf kepadanya dengan puisi-puisinya untuk melenyapkan
kebencian Nu’man dan meluluhkan hatinya, serta menempatkan kembali posisinya
semula di sisi raja Nu’man bin Mundzir. Hal tersebut dapat dilihat dalam puisi
i’tidzariyat (permohonan maaf)-nya di bawah ini:
فإنك شمس والملوك كواكب ¤
إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب
“Sesungguhnya
engkau bagaikan malam yang kujelang meski aku didera kehampaan, tapi tempat
berharap maaf darimu sungguh luas membentang”
An-Nabighah
berusia panjang dan meninggal menjelang keutusan Nabi Muhammad Saw.
Kedudukan
Puisinya
Sebagian
besar ahli sastra Arab mendudukan puisi an-Nabighah pada deretan ketiga sesudah
sesudah Umru al-Qais dan Zuhair bin Abi Sulma. Hanya saja penilaian ini sangat
relatif sekali, karena setiap orang pasti mempunyai penilaian masing-masing.
Walaupun demikian karya puisi merupakan puisi yang sangat tinggi nilainya.
Karena pribadi penyair ini sangat berbakat dalam berpuisi. Oleh sebab itu,
tidak heran bila penyair ini diangkat sebagai dewan juri dalam setiap
perlombaan berdeklamasi dan berpuisi tiap tahun di pasar Ukadz.
Dalam
perlombaan deklamasi dan berpuisi itu, para penyair berdatangan dari segala
penjuru tanah Arab semuanya berkumpul di pasar Ukadz, Daumat al-Jandal, dan
Dzil Majanah. Dalam kesempatan ini, mereka mendirikan panggung untuk dewan
juri, dan salah seorang dari dewan juri itu adalah an-Nabighah sendiri, karena
dia dikenal sebagai seorang yang mahir dalam menilai puisi. Dan apabila ada
puisi yang dinilai baik, maka puisi itu akan ditulis dalam lembaran khusus
dengan menggunakan tinta emas, kemudian digantungkan pada dinding Ka’bah
sebagai penghormatan bagi penyairnya.
Keistimewaan
puisi an-Nabighah bila dibandingkan dengan puisi Umru al-Qais dan Zuhair bin
Abi Sulma, maka puisi an-Nabighah lebih indah dan kata-katanya lebih mantap,
bahasanya sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua orang. Dan para
penyair lain pun tidak jarang yang meniru gaya an-Nabighah dalam berpuisi,
sehingga orang yang suka akan kelembutannya puisinya, seperti Jarir, menganggap
bahwa ia merupakan penyair Jahiliyyah yang paling piawai. Ketergiurannya untuk
mencari penghidupan dengan puisi, justru membuka teknik baru dalam jenis puisi
madah (pujian) serta melakukan perluasan dan pendalaman dalam jenis puisi itu,
sehingga dia mampu memuji sesuatu yang kontradiktif.
Kepiawaiannya
itu terlihat ketika pada suatu hari ia hendak memuji raja Nu’man bin Mundzir
yaitu seorang raja yang paling disukainya. Waktu itu ia melihat matahari yang
sedang terbit dengan terang. Oleh karena itu raja Nu’man diumpamakan dalam
puisinya sebagai matahari yang terbit, dimana matahari bila sedang terbit, maka
sinarnya itu akan mengalahkan sinar bintang di malam hari. Untuk itu penyair
itu berkata seperti di bawah ini[1]:
فإنك شمس والملوك كواكب ¤
إذا طلعت لو يبد منهنّ كوكب
“Sesungguhnya
kamu adalah matahari dan raja-raja selainmu adalah bintang-bintangnya, yang
mana bila matahari terbit, maka bintang-bintang itupun akan hilang dari
penglihatan”.
Selain
dari bait puisi di atas, masih banyak lagi dari kumpulan puisinya yang
diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh Monsiur Dierenburg
pada tahun 1868, karena puisinya banyak digemari orang.
Puisi-Puisinya
An-Nabighah
mempunyai diwan (antologi) puisi yang dikomentari oleh Batholius (Ibnu Sayyid
al-Batholius) yang telah berulang-ulang dicetak, meskipun antologi puisinya itu
tidak menghimpun seluruh puisinya. Di antara puisinya yang paling indah adalah
yang terdapat di dalam mu’allaqat-nya yang bait-bait pertamanya berbunyi:
عوجوا فحيوا لنعم دمنة الدار
¤ ماذا تحيون لوى وأحجار
أقوى وأقفز من نعم وغيره ¤ هوج
الرياح بهلبى الترب موار
وقفت فيها سراة اليوم أسألها ¤
عن آل نعم أمونا عبر أسفار
فاستعجمت دار نعم ما تكلمنا
¤ والدار لو كلمنا ذات أخبار
“Berhentilah
kalian untuk menyapa, menyalami, sungguh indah reruntuhan perkampungan, apa
yang kalian salami adalah timbunan tanah dan bebatuan”
“Tanah
lenggang, sepi dari binatang liar, dan telah diubah oleh hembusan badai serta
hujan yang datang dan pergi”
“Aku
berdiri di atasnya, ditengah reruntuhan dan bertanya kepadanya tentang
serombongan unta yang biasa lewat di sana”
“Reruntuhan
rumah yang indah , demikian asing, membisu tak mau berbicara pada kami, dan
reruntuhan rumah itu, andai ia mau berbicara pada kami, pasti ia punya banyak
cerita”
Di
antara kata-katanya yang paling bagus dalam puisi i’tidzar-nya seperti
yang terdapat di bawah ini:
أتانى (أبيت اللعن) أنك لمتنى
¤ وتلك التى أهتم منها وأنصب
فبت كأن العائدات فرشن لى
¤ هواسا به فراشى ويقشب
حلفت فلم أترك لنفسك ريبة ¤
وليس وراء الله للمرء مذهب
لئن كنت قد بلغت عنى جناية
¤ لمبلغك الواشى أغشى وأكذب
ولكننى كنت امرءا لى جانب ¤ من
الأرض فيه مستراد ومهرب
“Telah
sampai berita padaku tentang abaital la’ni bahwa engkau mencercaku, itulah yang
membuat penting dan aku menjadi sangat lelah” “semalaman, seakan para pembesuk
menjengukku, menebar duri-duri tajam di atas tempat tidur dan menusuk-nusukku”
“Aku
bersumpah tidak akan meninggalkan keraguan pada dirimu. Setelah Allah, bagi
seseorang tidak ada lagi tempat kembali”
“Jika
berita mengenai dosa yang aku lakukan telah sampai padamu, yang menyampaikan
berita padamu itu, sungguh penjilat yang paling jahat dan paling dusta”
“Tetapi
aku adalah orang yang memiliki tempat yang lain di bumi, di mana aku mengais
rizqi dan tempat melarikan diri”
Di
antara puisi-puisinya yang lain,
وأنت كالدهر مبثوثا حبائله
¤ والدهر لا ملجأ منه ولا هرب
أضحت خلاء وأضحى أهلها احتملوا
¤ أخنى عليها الذى أخنى على لبد
نبئت أن أبا قابوس أوعدنى
¤ ولا قرار على زأر من الأسد
فلو كفى اليمين بغتك خونا
¤ لأفردت اليمين عن الشمال
“Engkau
bagaikan sang masa, terbentang luas tali-tali kasihnya. Sang masa, tak ada
tempat berlindung dan tempat melarikan diri selainnya”
“Sahara
menjadi lengang, penduduknya memikul beban, yang menghancurkan Lubad telah
dihancurkannya”
“Aku
mendapat berita bahwa Abu Qabus mengancamku, tapi dalam auman singa tak ada
yang pasti”
“Jika
golongan kanan cukup menimbulkan kebencianmu, karena berkhianat. Sungguh aku
sendiri dari golongan kanan yang berasala dari golongan kiri”
UMRU’
AL-QAIS BIN HUJRIN
Kabilah
Dan Keluarga Umru’ Al-Qais
Penyair
ini memiliki nama lengkap Umru’ al-Qais bin Hujrin bin al-Harits al-Kindi, dan
berasal dari suku Kindah, yaitu suatu suku yang pernah berkuasa penuh di daerah
Yaman. Karena itu, ia lebih dikenal sebagai penyair Yaman (Hadramaut). Kabilah
ini adalah keturunan dari bani Harits yang berasal dari Yaman, daerah Hadramaut
Barat. Mereka mendiami daerah Nejed sejak pertengahan abad ke-5 Masehi.
Suku
Kindah merupakan salah satu kabilah bangsawan Arab yang harus menghadapi dua
saingan kerajaan yang cukup kuat, yaitu Malik al-Khairah dan Husasanah.
Keduanya saling berusaha untuk menghalang-halangi pengaruh suku Kindah terhadap
suku-suku lain, sehingga mengakibatkan terjadinya peperangan terus-menerus dan
turun-menurun.
Nasab
penyair ini termasuk ke dalam kalangan terhormat, ia anak seorang raja Yaman
yang bernama Hujur al-Kindi, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Rabiah
saudara Kulaib Taghlibiyyah, yaitu seorang pewira Arab yang amat terkenal dalam
peperangan al-Basus dan saudara dari Muhalhil, yang juga seorang penyair.
Hujur
al-Kindi adalah ayah Umru’ al-Qais, yang meninggal dibunuh oleh kabilah Bani
Asad. Namun, para sastrawan dan kritikus sastra Arab berselisih pendapat
tentang sebab terbunuhnya ayah Umru’ al-Qais. Salah satunya adalah pendapat
pengarang kitab al-Aghāni (Ibnu Mandzur, tt:248). Ia berpendapat bahwa penyebab
kematiannya terdapat empat riwayat, yaitu:
1.
Diriwayatkan dari Hisam ak-Kalabi (w.204 H), menyatakan sebab terbunuhnya Hujur
al-Kindi adalah sebagai tindakan balas dendam bani Asad terhadapnya. Karena
pemimpin mereka Amr bin Mas’ud al-Asadi dipenjara dan harta kekayaan mereka
dirampas serta mereka diusir dari rumah tempat tinggal mereka.
2.
Diriwayatkan dari Abu Faraj dan Abi Amr as-Saibani (w. 213 H), berpendapat
bahwa terbunuhnya Hujur al-Kindi merupakan akibat kelalaian dirinya sendiri
ketika ia berlindung kepada Uwair bin Sijnah karena rasa takutnya kepada bani
Asad.
3.
Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Ibnu Sikkit (w. 244 H), berpendapat bahwa
Hujur al-Kindi meninggal terbunuh oleh seorang pemuda ketika berperang melawan
bani Asad sebagai balas dendam kepadanya.
4.
Diriwayatkan dari Abu Faraj dari Hisam bin ‘Adi (w. 206 H), pendapat ini sama
dengan pendapat no. 2, hanya saja ia dibunuh sebab kelengahannya ketika
berperang dengan bani Asad.
Namun,
menurut Syauqi Dhaif[1], ia berpendapat bahwa riwayat yang paling benar adalah
riwayat terakhir.
Kehidupan
Umru’ Al-Qais
Di
dalam buku-buku atau lteratur sastra Arab telah terjadi perselisihan pendapat
mengenai siapa sebenarnya nama Umru’ al-Qais Terdapat bermacam-macam nama bagi
penyair ini, yaitu Hunduj, ‘Adiyan, dan Mulaikah. Nama pendeknya Abu Wahab, Abi
Zaid, dan Abu Harits. Ada juga yang mengatakan bahwa ia dijuluki dengan nama
Dzu al-Qurut[2] dan al-Malik ad-Dlalil[3]. Akan tetapi julukan (laqab)nya yang paling terkenal adalah
Umru’ al-Qais. Julukan al-Qais diambil dari nama salah satu berhala di masa
Jahiliyyah. Mereka mengagungkannya dan menisbatkan segala sesuatu
kepadanya.
Sebagian
ahli sastra Arab berpendapat bahwa nasab Umru’ al-Qais dari ayahnya
Semith bin Umru’ al-Qais bin Amr al-Kindi. Adapun nasab ibunya, Tamaluk bin Amr
bin Zubaid bin Madzhad dari Suku Amr bin Ma’ad Yakrub. Diriwayatkan bahwa di
masa Jahiliyyah terdapat enam belas penyair Arab yang kesemuanya bernama Umru’
al-Qais, sehingga terjadi perselisihan di antara satu sama lain[4]. Adapun tentang kapan dilahirkannya, para ahli sejarah
sastra Arab tidak mengetahui dengan pasti kapan dia dilahirkan. Namun, ada yang
mengatakan bahwa ia dilahirkan pada permulaan abad ke-6 M.
Dari
segi nasab tersebut, sangat berpengaruh terhadap kepribadian penyair Yaman ini.
Sejak kecil penyair ini dibesarkan di Nejed, di tengah-tengah Bani Asad, rakyat
ayahnya. Ia hidup di dalam kalangan keluarga bangsawan yang gemar berfoya-foya.
Kehidupannya sebagai anak seorang raja berpengaruh sekali dalam pembentukan
kepribadiannya. Ia memiliki kebiasaan bermain cinta, bermabuk-mabukkan, dan
melupakan segala kewajiban sebagai anak raja yang seharusnya pandai mawas diri
dan berlatih untuk memimpin masyarakat. Ia kerapkali dimarahi oleh ayahnya
karena perangainya yang buruk, bahkan akhirnya dia diusir dari istana.
Selama
masa pembuangan, Umru’ al-Qais bergabung dengan para penyamun,
preman/brandalan, serta tunawisma Arab yang sebaya dengannya. Ia mengembara ke
sebagian besar daerah jazirah Arab untuk menghabiskan waktunya bersama
masyarakat Badui. Orang-orang Badui ini gemar sekali mengikutinya karena
disamping mereka butuh akan hartanya, mereka juga membutuhkan spritit lewat
puisi-puisinya untuk menghadapi lawan-lawan mereka.
Masa
pengembaraan penyair ini berlangsung cukup lama. Dan pengalaman pengembaraannya
itu kelak akan membawa pengaruh yang amat kuat pada puisi-puisinya. Selama
pengembaraannya itu, ia mendapatkan pengetahuan, pelajaran, dan pengalaman yang
baru yang dituangkan dalam karya-karyanya. Dibandingkan dengan penyair lain
yang tidak banyak berkelana, puisi Umru’ al-Qais memiliki nilai lebih, baik
dari keindahan maupun sistematika bahasa.
Kebiasaan
buruk Umru’ al-Qais yang senang berfoya-foya, tidak juga hilang meskipun ia
dalam masa pembuangan. Suatu hari, ketika ia sedang berada di salah satu warung
minuman dan hiburan di Dammun, datang seorang kurir menyampaikan berita
mengenai kematian orang tuanya yang terbunuh di tangan kabilah Bani Asad, yaitu
sebuah kabilah yang sedang memberontak terhadap kekuasaan ayahnya. Mendengar
berita kematian orang tuanya itu tidak membuatnya terkejut dan menuntut balas,
tetapi berita itu tidak disambut baik olehnya, bahkan dengan malas-malasan ia
berkata[5]:
”ضيعني صغيرا, وحـملني دمه كبيرا, لا
صحو اليوم, ولا سكر غدا, اليوم خمر, وغدا أمر”
“Dulu,
sewaktu aku kecil, aku dibuang, dan kini setelah aku dewasa, aku dibebani
dengan darahnya, biarkan saja urusan itu, sekarang waktunya untuk
bermabuk-mabukan, dan esok barulah waktu untuk menuntut darahnya”[6].
Namun
akhirnya, ia berangkat juga menuju Nejed untuk menuntut balas atas kematian
orang tuanya. Dalam menunaikan pembalasannya itu, ia terpaksa meminta bantuan
kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di sekitarnya. Sehingga pertempuran itu
berkecamuk lama, dan akhirnya ia melarikan diri menuju kerajaan Romawi Timur
(Byzantium) di Turki. Di tengah perjalanan, penyair itu terbunuh oleh musuhnya
dan di makamkan di kota Angkara, Turki, dan tidak diketahui secara pasti tahun
berapa ia terbunuh, diperkirakan kurang lebih 82 sebeum Hijriyyah atau 530-540
Masehi.
Karya
Sastra Umru’ Al-Qais
Sebagian
besar ahli sastra Arab berpendapat bahwa diantara puisi-puisi al-Mu’allaqat,
puisi Umru’ al-Qais merupakan puisi yang palin terkenal dan menduduki posisi
penting dalam khazanah kesusastraan Arab Jahiliyyah. Mu’allaqat Umru’ al-Qais
merupakan peninggalan yang paling monumental yang mempunyai peranan penting
dalam perkembangan kesusastraan Arab pada masa-masa selanjutnya. Puisi-puisinya
seringkali dipakai sebagai referensi dalam kajian ilmu-ilmu bahasa Arab seperti
nahwu, sharf, maupun balaghah.
Keistimewaan
puisi-puisinya, bersandarkan pada kekuatan daya khayalnya dan pengalaman dalam
pengembaraannya. Bahasa yang digunakan sangat tinggi dan isinya padat.
Bait-bait puisinya menggambarkan cerita yang panjang, satu bait puisinya
memiliki tujuan yang sangat banyak. Ia juga dianggap sebagai orang pertama yang
menciptakan cara menarik perhatian dengan cara istikafus-Shahby[7], cara seperti ini sangat menarik bila digunakan dalam puisi
ghazal dan tasybib (cara untuk merayu wanita), dan cara seperti itulah yang
amat digemari penyair Arab untuk membuka kasidahnya untuk menarik perhatian
orang. Ia juga dianggap sebagai penyair pertama dalam mensifati kecantikan
seorang wanita dengan mengumpamakannya seperti seekor kijang yang panjang
lehernya, karena seorang wanita yang panjang lehernya, menandakan sebagai
seorang wanita yang cantik.
Orang
yang mempelajari puisi karya Umru’ al-Qais dengan mendalam, maka akan ditemukan
bahwa keindahan penyair ini terletak pada caranya yang halus dalam puisi
ghazal-nya. Ditambah dengan gaya isti’arah (kata-kata kiasan dan perumpamaan).
Sehingga banyak yang beranggapan bahwa ialah orang pertama yang menciptakan
perumpamaan dalam puisi Arab. Walauun terkadang puisi-puisinya juga tidak luput
dari perumpamaan yang cabul, tetapi itu tidak mengurangi nilai dalam puisinya,
karena bentuk kecabulannya itu tidak terlalu berlebihan, dan perumpamaan
semacam itu merupakan kebiasaan dari para penyair Arab.
Secara
garis besar bait-bait puisinya yang terkumpul dalam kasidah mu’allaqat-nya
meliputi beberapa tema, antara lain:
- Mengenai perpisahan seorang
sahabat yang membekas dan memilukan, yang menyebabkan air mata bercucuran
menyertai kepergfiannya untuk mengembara.
- Mengenang hari daratul jaljal
sebagai cerminan kisah romantis. Tema ini merupakan ungkapan cinta sejati
yang tidak mungkin terlupakan. Dan konon tema inilah yang membuat Umru’
al-Qais terpilih menjadi penyair al-Mu’allaqat.
- Mengenai senda gurau yang
diibaratkan pertarungan dengan seorang pelacur.
- Mengenai doa untuk kekasihnya
Unaizah, sebagai persembahan cinta yang sejati.
- Mengenai pertarungan untuk
merebut idaman hati.
- Menggambarkan malam dan
waktu-waktu yang dilaluinya, serta kejadian-kejadian luar biasa yang
dialaminya.
- Mengenai penderitaan akan
kegagalan.
- Mengenai simbolisasi kuda
dengan kecepatan yang luar biasa.
- Mengenai pengibaratan pemimpin
suku Badui dengan kilat dan hujan, sedangkan pengikutnya dengan jurang
yang dalam dan pegunungan yang tinggi.
Walaupun
pemakaian kata-kata kiasan, pengibaran dengan alam, dan simbolisasinya, tidak
hanya didominasi oleh puisi-puisi Umru’ al-Qais, tetapi dilakukan juga oleh
para penyair lain. Akan tetapi, para ahli puisi Arab, berpendapat bahwa ialah
orang yang pertama kali menciptakan puisi-puisi kontoversial pada zamannya, dan
tidak jarang kata-kata yang bernada sinisme juga dipakai oleh Umu al-Qais dalam
puisi-puisinya.
Terkadang
ia juga berkata vulgar yang mengarah ke pornografi dalam ungkapan-ungkapan
komparasi dan pembicaraannya mengenai wanita. Tercium pula aroma
kecerdasan dan kepiawaiannya, serta tersirat pula indikasi-indikasi
kepemimpinannya. Hal itu diantaranya terdapat dalam kata-katanya di bawah ini:
فظل العذرى يرتمين بلحمها
¤ وشحم كهداب الدمقس المفتل
وظل طهاة اللحم من بين منضج
¤ صفيف شواء أو قدير معجل
“Gadis-gadis
itu terus melahap dagingnnya dan lemaknya bagaikan kain sutra putih”
“Mereka
terus memasak daging antara yang matang dengan dipanggang, dan ada yang direbus
setengah matang”
ولو أن ما أسعى لأدنى معيشة
¤ كفانى ولم أطلب قليل من المال
ولكنما أسعى لمجد مؤثل ¤
وقد يدرك المجد المؤثل أمثال
“Seandainya
yang kuusahakan ini untuk kehidupan yang rendah, aku sudah kecukupan, dan tak
perlu lagi mencari secuil harta”
“Akan
tetapi, aku berusaha untuk suatu keagungan sejati, yang terkadang keagungan
sejati itu mampu tergapainya orang-orang sepertiku”
Di
bawah ini merupakan contoh puisi Umru’ al-Qais dalam bab Ghazal yang
menceritakan perjalanan bersama kekasihnya yang bernama Unaizah, seperti di
bawah ini[8]:
ويوم دخلت الخدر خدر عنيزة
¤ فقالت لك الويلات إنك مرجلى
تقول وقد مال الغبيط بنا معا
¤ عقرت بعيرى يا امرأ القيس فانزل
فقلت لها سيرى وارخى زمامه
¤ ولا تبعدينى من جناك المعلّل
“Suatu
hari ketika aku sedang masuk ke dalam Haudat[9] kekasihnya Unaizah, maka Unaizah berkata kepadaku:
“Celakalah kamu, jangan kamu beratkan untaku”.
“Ketika
punggung untanya agak condong ke bawah (karena berat), maka ia berkata
kepadaku: “Turunlah hai Umru al-Qais, janganlah kamu ganggu jalan untaku
ini”.
“Di
saat itu, kukatakan kepadanya: “Teruskanlah perjalananmu dan lepaskanlah tali
kekangnya, janganlah engkau jauhkan aku dari sisimu”.
Penyair
ini juga mensifati kecantikan kekasihnya, Unaizah, seperti dalam bait puisi di
bawah ini[10]:
فلمّا اجزنا ساحة الحىّ وانتحى
¤ بنا بطن خبت ذى حقاف عقنقل
هصرت بفودى رأسها فتمايلت
¤ على هضيم الكشح ريّا المخلخل
مهفهفة بيضاء غير مفاضة ¤
ترائبها مصقولة كالسّجنجل
وجيد كجيد الرئم ليس بفاحش
¤ اذا هي نصته ولا بمتعطل
وفرع يزين المتن اسود فاحم
¤ انيث كقنو النخلة المتعثكل
“Ketika
kami berdua telah melewati perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari
intaian orang kampung”
“Maka
kutarik dirinya sehingga ia dapat merapat kepadaku, perutnya ramping dan
dadanya putih bagaikan kaca”.
“Lehernya
jenjang bak leher kijangi, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena
lehernya dipenuhi kalung permata”.
“Rambutnya
yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang korma”.
Pada
bait puisi di atas Umru’ al-Qais menggambarkan kecantikan kekasihnya dengan
gayanya yang khas, dan gambaran yang seindah itu tidak dapat terlukiskan,
kecuali bagi orang yang mempunyai daya khayal yang tinggi, ditambah dengan
pengalaman yang luas, sehingga dengan itu semua ia dapat melukiskan sesuatu
dengan berbagai macam perumpamaan dan sepertinya benar-benar terjadi.
Contoh
lain yang menunjukkan kemahiran penyair ini dalam menggambarkan suatu kejadian
dengan gayanya yang khas sehingga bayangan yang ada benar-benar terjadi.
Seperti kesusahan yang dialaminya pada malam hari, seperti dibawah ini[11]:
وليل كموج البحر مرخ سدوله
¤ عليّ بأنواع الهموم ليبتلى
فقلت له لمـّا تمطّى بصلبه
¤ واردف اعجازا وناء بكلكل
الا ايّها اللّيل الطويل الا
انجلى ¤ بصبح وما الإصباح منك بأمثل
“Di
kala gelap malam bagaikan badai laut yang tengah meliputiku dengan berbagai
macam keresahan untuk mengujiku (kesabaranku)”.
“Di
kala malam itu tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakan padanya”.
“Hai
malam yang panjang, gerangan apakah yang menghalangimu untuk berganti dengan
pagi hari? Ya walaupun pagi itu pun belum tentu akan sebaik kamu”.
Pada
bait-bait puisi di atas, sebenarnya penyair ini ingin mengutarakan betapa
malang nasibnya. Di mana keresahan hatinya akan bertambah susah bila malam hari
tiba. Karena saat itu ia merasa seolah-olah malam itu sangat panjang sekali.
Sehingga ia mengharapakan waktu pagi segera tiba, agar keresahannya dapat
berkurang, namun sayang sekali keresahannya itu tidak juga berkurang walaupun
pagi hari telah tiba. Puisi di atas, tidak lain merupakan contoh dari
kepandaian Umru’ al-Qais dalam menggambarkan suatu keadaan. Sehingga
seolah-olah itu benar-benar terjadi.
Bait
puisinya terkumpul semuanya dalam kasidah mu’allaqat-nya. Mu’allaqat Umru’
al-Qais sangat terkenal dikalangan setiap orang yang mempelajari kesusastraan
Arab. Penyair ini menciptakan kasidah muallaqadnya tidak lain adalah untuk
mengabadikan suatu kejadian yang dialaminya. Seperti kejadian yang dialaminya
besama sang kekasih Unaizah.
Pada
suatu ketika Umru’ al-Qais ingin bertemu kekasihnya, namun keinginannya itu
selalu dihalangi oleh pamannya, karena ia takut anak puterinya itu akan
terbujuk dengan puisi Umru’ al-Qais. Karena itulah, Umru’ al-Qais berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kesempatan agar dapat bertemu dengan anak
pamannya yang bernama Unaizah. Dan pada suatu ketika, ia berhasil bertemu
dengan Unaizah dan bersepakat bertemu dalam kesempatan lain bila anggota
kabilahnya sedang pergi mengambil air. Dan telah menjadi kebiasaan kabilah itu,
bila hendak mengambil air kaum lelaki berjalan terlebih dahulu, kemudian
barulah diikuti kaum wanita dari belakang.
Sewaktu
kaum lelaki pergi ke mata air, Umru’ al-Qais tidak keluar bersama mereka,
bahkan penyair ini menunggu keberangkatan kaum wanita. Dan ketika kaum wanita
keluar menuju mata air, maka Umru’ al-Qais keluar mendahului mereka agar dapat
sampai lebih dahulu. Sesampainya di mata air yang bernama Juljul yang terletak
di daerah Kindah (Nejed), penyair ini langsung bersembunyi di balik batu yang
tidak terlalu jauh dari tempat itu.
Ketika
rombongan wanita yang di dalamnya terdapat kekasihnya tiba di mata air Juljul,
maka mereka langsung menanggalkan pakaiannya masing-masing, dan meletakkannya
di atas batu. Setelah mereka masuk ke dalam air, maka Umru’ al-Qais yang tengah
asyik memperhatikan dari balik batu, langsung mengambil pakaian mereka semua,
dan berjanji tidak mengembalikannya kecuali bila mereka keluar dari mata air
itu dengan keadaan telanjang bulat. Melihat kejadian itu, semua kaum
wanita terkejut dan meminta Umru’ al-Qais untuk mengembalikan pakaian mereka.
Namun Umru’ al-Qais tetap bersikeras tidak mengembalikan pakaian mereka bila
mereka tidak mau keluar dalam keadaan telanjang bulat.
Akhirnya,
dengan keadaan terpaksa kaum wanita itu keluar dari mata air Juljul dalam
keadaan telanjang bulat untuk mengambil pakaian mereka dari tangan Umru’
al-Qais, tetapi hanya Unaizah yang tidak mau keluar dari mata air, dan ia
meminta Umru’ al-Qais untuk mengembalikan pakaiannya. Setelah ia mengetahui
bahwa Umru’ al-Qais tidak akan mengembalikan pakaiannya, maka dengan terpaksa
Unaizah keluar dari mata air dengan keadaan telanjang dan meminta Umru’ al-Qais
untuk mengembalikan pakaiannya. Dan kemenangannya itu, diabadikannya dalam
kasidah mu’allaqat-nya.
Umru’
al-Qais juga memiliki puisi-puisi panjang dan pendek. Puisi panjangnya yang
paling terkenal dan menjadi buah bibir orang dalam kepopulerannya, terdapat
dalam kumpulan mu’allaqat-nya seperti terdapat di bawah ini:
قفا نبك من ذكرى حبيب ومنـزل
¤ بسقط اللوى بين الدحول فحومل
فتوضح بالمقراة لم يعف رسمها
¤ لما نسجتها من جنوب وشمال
“Marilah
kita berhenti untuk menangis (mengenang) kekasih dan rumahnya di Siqthi liwa
antara Dakhul dan Haumal”
“Tudlih
dan Miqrat, bekas-bekasnya belumlah lenyap karema hembusan angina selatan dan
angina utara”
Umru’
al-Qais juga memiliki puisi yang berisikan hikmah-himah atau kata-kata mutiara,
seperti yang terdapat di bawah ini:
إذا المرءا لم يخزن عليه لسانه
¤ فليس على شيئ سواه بخزان
فإنك لم يفخر عليك كفاخر
¤ ضعيف ولم يغلبك مثل مغلب
“Seseorang,
bila lisannya tidak dapat memelihara dirinya, maka tidak ada sesuatu pun yang
dapat dipeliharanya”
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dibanggakan sebagai orang lemah kamu tidak akan dikalahkan oleh
orang yang berkali-kali kalah”
Dīwan
(kumpulan puisi-puisi) Umru’ al-Qais telah mengalami cetakan berulang-ulang.
Pertama kali dicetak di Paris pada tahun 1837 M oleh De Slane. Pada tahun 1870
dibukukan kembali oleh Ahlwardt dan pada tahun 1958 Muhammad Abu Fadl Ibrahim
bersama lembaga Dār al-Ma’arif Kairo telah mengeluarkan kembali Dīwan Umru’
al-Qais yang baru, yaitu dengan mengambil dari nushah yang ditulis oleh De
Slane. Dīwan tersebut meliputi 28 kasidah dengan sarah (penjelasan) Assantamri
(riwayat dari orang Kufah)[12].
Hani
Bin Qabishah Bin Hani Bin Mas’ud Asy-Syaibani
Hani
bin Qabishah bin Hani bin Mas’ud asy-Syaibani adalah seorang kepala kabilah
dari bani Syaiban, yang terkenal dengan keberaniannya pada akhir zaman
Jahiliyyah.
Mengenai
keberaniannya, suatu hari, ia diminta oleh Raja Kisra dari Persia, untuk
memberikan amanat kepada Nu’man bin al-Mandzur, salah seorang Raja Munadzirat
di Hira, Irak, tetapi ia menolak. Maka, terjadilah peperangan antara Persia dan
Bakr, suku bani Hani, di sebuah tempat dekat Basrah di Irak, yang dikenal
dengan perang Dzi Qaar (yaumu Dzi Qaar), dalam peperangan itu suku Bakr
memperoleh kemenangan. Di bawah ini adalah pidato Hani kepada kaumnya pada
perang tersebut:
“يا معشر بكر, هالك معذور, خير من ناج فرور,
إن الحذر لا ينجى من القدر, وإن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال
الموت خير من استدباره, الطعن فى ثغرالنحور, أكرم منه فى الأعجاز والظهور, يا آل
بكر, قاتلوا فما للمنايا من بد”.
“Wahai
segenap orang-orang kabilah Bakr, mati dalam medan peperangan lebih baik
daripada orang yang selamat dengan lari dari perang. Melarikan diri (ketakutan)
tidak akan menyelamatkan dari takdir. Sesungguhnya kesabaran merupakan salah
satu faktor penyebab kemenangan. Kematian bukanlah sebuah kehinaan. Menyongsong
kematian (maut) lebih baik daripada menghindarinya. Tusukan di tenggorakan
lebih mulia daripada tusukan di leher dan pundak. Wahai keluarga Bakr,
berperanglah! Janganlah kalian takut akan mati, karena kematian akan dimana pun
akan menghadang kalian”
Aktsam
bin Shaifi
Aktsam
bin Shaifi dikenal sebagai orator bangsa Arab Jahiliyyah yang paling bijak, ia
juga dikenal sebagai seorang yang paling mengetahui silsilah keturunan bangsa
Arab. Di dalam orasinya ia banyak menyisipkan kata-kata hikmah dan peribahasa.
Pendapat yang dikeluarkan selalu tepat dan argumentasinya kuat. Selain dikenal
sebagai seorang orator yang ulung, ia juga sebagai hakim yang dihormati dan
disegani.
Aktsam
bin Shaifi memiliki kedudukan yang tinggi disisi kaumnya dan termasuk tokoh
pemimpin yang dimuliakan, dan juga penguasa pembesar di kalangan mereka. Sangat
sedikit pada masanya, orator yang dapat menandinginya dalam keluasan
pengetahuan di bidang silsilah keturunan bangsa Arab, dalam penciptaan
pribahasa, dan kata-kata hikmah, juga dalam memecahkan berbagai permasalahan,
dan dalam keluhuran pemikirannya.
Aktsam
bin Shaifi merupakan ketua dari para orator yang diutus oleh Raja Nu’man untuk
menghadap Raja Kisra, Persia. Raja Kisra sangat kagum terhadap Aksam, sehingga
ia menyatakan: “Seandainya bangsa Arab tidak memiliki lagi orator sepertimu,
kamu sendiri pun sudah cukup”.
Aktsam
bin Shaifi memiliki usia yang panjang, ia sempat mengalami masa diutusnya Nabi
Muhammad Saw, Ketika ia mendapat berita mengenai di utusnya Nabi Muhammad Saw,
ia mengumpulkan kaumnya dan mengajak mereka untuk beriman kepada Nabi Muhammad
Saw.
Di
dalam pidato-pidatonya, Aktsam jarang menggunakan kata-kata majaz,
kalimat-kalimat pidatonya begitu ringkas, padat, merdu, dan mengandung makna
yang luas. Pidato-pidatonya juga banyak dihiasi dengan kata-kata mutiara dan
pribahasa. Ungkapan orasinya tidak begitu mementingkan persajakan (rima),
tetapi lebih cenderung untuk memuaskan pendengarnya dengan argumentasi yang
baik dan bukti. Dia menyandarkan orasinya pada kekuatan pengaruh dan
kesan yang ditimbulkan dari kepiawaiannya dalam berorasi. Di bawah ini adalah
salah satu contoh orasinya (pidato) yang disampaikan dihadapan Raja Kisra,
Persia:
“إن أفضل الأشياء أعاليها, وأعلى الرجال
ملوكم, وأفضل الملوك أعمها نفعا, وخير الأزمنة أخصبها, وأفضل الخطباء أصدقها,
الصدق منجاة, والكذب مهواة, والشرّ لجاجة, الحزم مركب صعب, والعجز مركب وطئو آفة
الرأى الهوى, والعجز مفتاح الفقر, وخير الأمور الصبر, وحسن الظن ورطة, وسوء الظن
عصمة, إصلاح فساد الرعية خير من إصلاح فساد الرأعى, من فسدت بطانته كان كالغاص
بالماء, شرّ البلاد بلاد لا أمير بها, شرّ الملوك من خافه البرئ, المرء يعجز لا
المحالة. أفضل الأولاد البررة, خير الأعوان من لم يراء بالنصيحة, أحق الجنود
بالنصر من حسنت سريرته, بكفيك من الزاد ما بلغك المحل, حسبك من شر سماعه, الصمت
حكم وقليل فاعله, البلاغة الإيجاز, من شدد نفر, ومن تراخى تألف”
“Sesungguhnya,
seutama-utamanya sesuatu adalah yang paling tinggi. Setinggi-tinggi orang
adalah raja mereka. Seutama-utama raja adalah yang paling merata
kemamfaatannya. Sebaik-baik masa adalah masa yang paling subur (jaya).
Seutama-utama orator adalah orator yang paling jujur. Kejujuran adalah
penyelamat. Kedustaan adalah lembah kehancuran. Kejahatan adalah berlarutnya
pertikaian. Tekad kuat adalah kendaraan yang paling sulit dinaiki. Kelemahan
adalah kendaraan yang paling mudah dinaiki. Penyakit berpikir adalah hawa
nafsu. Kelemahan adalah kunci kefakiran. Sebaik-baik perkara adalah kesabaran.
Baik sangka adalah sesuatu yang menyulitkan. Buruk sangka adalah suatu
perlindungan. Memperbaiki kerusakan rakyat lebih baik daripada memperbaiki
kerusakan penguasa. Barang siapa yang rusak kawan-kawan dan kroni-kroninya,
bagaikan tenggelam dalam air. Seburuk-buruk negeri adalah negeri yang tidak
memiliki pemimpin. Sejahat-jahat raja adalah raja adalah raja yang ditakui oleh
orang-orang bersih. Seorang akan menjadi lemah jika tidak memiliki usaha.
Sebaik-baik pembantu adalah orang yang tidak menentang nasihat. Sebaik-baik
tentara yang berhak mendapatkan kemenangan adalah tentara yang baik intusi
perangnya. Cukuplah bekal buatmu, yang dapat menghantarkan sampai ke tempat
tujuan. Cukuplah kejahatan itu, kamu mendengarnya saja. Balaghah adalah ijaz
(kata ringkas dan padat makna). Barang siapa yang kasar akan dijauhi orang, dan
barang siapa yang ramah akan didekati orang”.
Qus
bin Sa’idah Al-Iyadi
Qus
bin Sa’idah al-Iyyadi merupakan seorang orator ulung Arab Jahiliyyah dan
menjadi idola dalam ke-balaghah-an orasinya, kata-katanya banyak mengandung
hikmat dan nasihat-nasihat yang baik. Ia menganut kepercayaan tauhid dan
beriman kepada hari kebangkitan. Ia menyeru masyarakatnya untuk menghentikan
penyembahan terhadap berhala, dan berusaha membimbing mereka untuk menyembah
kepada Yang Maha Pencipta (al-Khaliq). Dia mengorasikan hal itu kepada masyarakatnya
dalam berbagai acara dan pada musim-musim pasaran.
Sebagian
ahli sastra Arab menyatakan bahwa Qus bin Sa’idah al-Iyyadi adalah orator
pertama yang berorasi di tempat yang tinggi, orator pertama yang mengatakan
dalam orasinya kata-kata “amma ba’du” (kemudian dari itu/selanjutnya), dan
orator pertama yang berorasi sambil bertelekan (memegang) pedang dan tongkat.
Masyarakat banyak yang datang kepadanya untuk meminta pengadilan dan
penyelesaian terhadap sebuah permasalahan, dan ia pun mampu mengadili mereka
dengan pemikiran yang jernih dan keutusan yang tepat.
Qus
bin Sa’idah al-Iyyadi juga orang pertama yang mengatakan: “Pembuktian atas
orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkari”. Ia pernah menjadi
duta (wakil) yang diutus kepada Kaisar Romawi. Pada suatu ketika Kaisar Romawi
bertanya kepadanya:
“Akal
apakah yang paling mulia?”
Qus
menjawab: “Akal yang membuat seseorang dapat mengenal dirinya”.
Kaisar
bertanya: “Ilmu apakah yang paling utama?”
Qus
menjawab: “Ilmu yang dapat membuat seseorang melindungi dirinya”.
Kaisar
bertanya: “Sifat apakah yang paling mulia dari seorang ksatria?”
Qus
menjawab: “Yaitu sifat ksatria seseorang akan mampu mengendalikan air mukanya”.
Kaisar
bertanya: “Harta apakah yang paling mulia?”
Qus
menjawab: “Harta yang dapat membuat seseorang dapat menyelesaikan hak-haknya”.
Nabi
Muhammad Saw sebelum diutus menjadi pernah mendengar Qus berorasi di pasar
Ukadz di atas unta yang berwarna kelabu. Beliau Saw begitu mengagumi keindahan
kata-katanya dan mengagumi kelurusannya serta memujinya. Qus berusia panjang
dan meninggal menjelang Nabi Muhammad Saw diutus menjadi Rasul.
Kata-kata
yang digunakan dalam berorasi begitu selektif, sehingga kesan yang ditimbulkan
sangat kuat, jauh dari kesalahan, dan senda gurau. Saja’ (prosa bersajak),
pharase-pharase pendek-pendek, selalu muncul secara spontan dalam setiap
orasinya. Di antara pidatonya, adalah pidato yang disampaikannya di pasar
Ukadz, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Shubhi al-A’sya (1: 212), seperti
yang terdapat di bawah ini:
أيها الناس, أسمعوا وعوا, من عاش مات,
ومن مات فات, وكل ما هو آت آت, ليل داج, ونهار ساج, وسماء ذات أبراجو ونجوم تزهر,
وبحار تزحر, وجبال مرساة, وأرض مدحاة, وأنهار مجراة, إن فى السماء لخبرا, وإن فى
الأرض لعبرا, ما بال الناس يذهبون ولا يرجعون؟ أرضوا فأقاموا؟ أم تركوا فناموا؟
يقسم قس بالله قسما لا إثم فيه: إن لله دينا هو أرضى لكم وأفضل من دينكم الذى أنتم
عليه. إنكم لتأتون من منكرا”.
“Wahai
segenap manusia dengarlah dan sadarlah. Sesungguhnya orang yang hidup itu akan
mati. Orang yang mati itu telah berlalu. Segala yang akan datang itu pasti
datang. Malam yang gelap gulita, siang yang terang benderang, langit yang
berhias bintang-bintang. Bintang gemintang yang berkerlap-kerlip, lautan yang
bergelombang, gunung-gunung yang tinggi menjulang, bumi yang menghampar, dan
sungai-sungai yang mengalir. Sesungguhnya di langit itu ada kabar berita, dan
di bumi itu penuh dengan pengajaran. Bagaimanakah gerangan berita tentang
orang-orang yang telah pergi dan tak kembali? Adakah gerangan karena mereka
suka dan mereka menetap di sana? Qus bersumpah demi Allah, suatu sumpah yang
tidak mengandung dosa: Sesungguhnya Allah memiliki agama yang lebih disukai-Nya
buat kalian, dan lebih utama daripada agama yang kalian jalani. Sesungguhnya
kalian benar-benar mendatangkan urusan yang mungkar (yang tidak disukai)”.
Diriwayatkan
bahwa setelah berorasi itu, Qus mendendangkan Syi’rnya:
فى الذاهبـين الأوليـ ¤
ـن من القرون لنا بصائر
لما رأيـت مـواردا ¤
للموت ليس لها مصادر
ورأيت قومى نحوهـا ¤ تمض:
الأكابر والأصاغر
لا يرجع المـاضى إلى ¤
ولا من الباقين غـابر
أيقنت أنى لا محــا ¤ لة
حيث صار القوم صائر
“Pada
orang-orang terdahulu yang telah berlalu pergi berabad-abad silam, kita
mendapatkan berbagai pelajaran”
“Ketika
kulihat meeka beramai-ramai menuju telaga kematian yang tidak dapa dihindari”
“Da
kulihat kaumku pun menuju ke arah sana dengan tidak perduli, mereka yang tua
renta maupun mereka yang muda belia”
“Yang
telah berlalu tak akan kembali lagi kepadaku, dan sementara mereka yang masih
tersisa tak akan pernah tetap berada”
“Aku
pun yakin, bahwa tak ayal lagi aku pun pasti berlalu pergi, menuju tempat ke
mana kaumku pergi”
http://jiwasastra.wordpress.com/2011/11/20/5/
Assalamualaikum.. dimana saya boleh dapatkan terjemahan puisi Harys Bin Hilzah yang lengkap?
BalasHapus