BAB II
PEMBAGIAN KESUSASTRAAN ARAB
Secara garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa (an-Natsr) dan puisi (syi’r). Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah (Qishshah), peribahasa (amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh) atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats ‘ilmiyyah).
Kisah (Qishshah) adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif, yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah terdiri dari 4 macam yaitu:
1. Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
2. Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi).
3. Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.
4. Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.
Kisah berkembang menurut zamannya. Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah kisah mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adat, dan sifat-sifat mereka. Pada masa Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat, Injil dan al-Qur’an. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang lebih luas, seperti kisah filsafat.
Adapun pada masa modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan hubungan antara Islam dan peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat. Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang yang bersambung. Missalnya Muntakhabat ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku, Riwayah Zainab oleh Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu’ asy-Syam oleh Salim Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji) oleh Naguib Mahfudz (1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883-1931).
Peribahasa (amtsal) dan Kata-Kata Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan kepribadian dan akhlak. Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih mengggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Pencipta amtsal dan al-Hikam yang terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa’idah al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.
Amtsal dan al-Hikam pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat religius serta berdasarkan pada al-Qur’an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada masa ini ialah Ali bin Abi Talib dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun Amtsal dan al-Hikam pada masa Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720-756).
Sejarah (tarikh) atau Riwayat (sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah perjalanan yang dilakukan oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal dibidang ini, antara lain: Mu’jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh Yaqut ar-Rumi (1179-1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w. 448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara’ib Amsar wa ‘Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah, Zakha’ir al-’Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur (Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin Ali al-Mas’udi (w. 956), dan Muluk al-’Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin ar-Raihan (1876-1940).
Karya Ilmiah (abhats ‘ilmiyyah) adalah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya-karya terkenal yang berkenaan dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan (Buku tentang Hewan) dan Kitab al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225 H/869 M), ‘Aja’ib al-Makhluqat wa Gara’ib al-Maujudat (Makhluk-Makhluk Yang Menakjubkan dan Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad wa Akhbar al-’Ibad (Peninggalan Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria bin Muhammad al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan), dan Siyar al-Abtal wa al-Qudama al-’Uzama (Sejarah Para Pahlawan dan Pembesar-Pembesar Terdahulu) oleh Ya’qub Sarruf (1852-1928).
Adapun puisi (Syi’r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi’r al-Ginai dan asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi. Asy-Syi’r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1. Asy-Syi’r al-Wijdani, adalah puisi yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti gembira, suka cita, dan berita. Para penyair yang dipandang sebagai tokoh dalam puisi jenis ini adalah Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Abi Firas yang diterbitkan pertama kali tahun 1873, dan al-Mutanabbi yang terkenal dengan kumpulan puisinya Diwan al-Mutanabbi.
2. Asy-Syi’r al-Ratsai, adalah puisi hiburan yang diungkapkan oleh penyair ketika meratapi seseorang yang telah meninggal. Di antara sastrawan yang dianggap tokoh dalam puisi jenis ini adalah al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Ratsa’uh li Akhihi Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya Kulaib), dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah (653-7330 dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang Sanjungan dan Ratapan).
3. Asy-Syi’r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan ‘Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).
Adapun asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam jenis puisi ini ialah Zuhair bin Abi Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin Rabi’ah (560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah ar-Ratsa (Mutiara-Mutiara Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi Hikam (Kata-Kata Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-’Ala al-Ma’arri (973-1058) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif al-Yaziji (1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi’r Nasif. (Risalah Pengampunan), Ibnu al-Wardi (1290-1349) dengan karyanya yang terkenal
Pada masa modern, penyair yang terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad Syauqi (1868-1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi Syauqi), dan Muhammad Hafiz Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan Hafiz Ibrahim (Kumpulan Puisi Hafiz Ibrahim).
A. PROSA
1. Pengertian Natsr (Prosa)
Terdapat banyak perbedaan definisi yang dikemukan oleh para ahli sastra Arab. Akan tetapi, perbedaan ini hanyak terletak bahasa penyampaiannya saja. Namun, mengenai hakikat sebuah prosa mereka memiliki pendapat yang sama, seperti yang dikemukakan di bawah ini :
والنثر : فهو ما ليس بشعر من الكلام المصقول المنمق, فهو لايتقيد بوزن ولا قافية
“Prosa adalah ungkapan atau tulisan yang tidak sama dengan Syi’r, ia tidak terkait dengan wazan atau qafiyah”
Sebagian para ahli sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya natsr lebih dahulu daripada timbulnya syi’r, sebab prosa tidak terikat oleh sajak dan irama. Prosa itu bebas bagaikan derasnya air. Sedangkan timbulnya syi’r sangat erat hubungannya dengan kemajuan manusia dalam cara berpikir. Sehingga mereka berpendapat bahwa manusia baru dapat mengenal bentuk-bentuk syi’r setelah mencapai kemajuan dalam bidang bahasa. Terdapat dua jenis natsr yaitu natsr ghair fanni dan natsr fanni. natsr ghair fanni adalah ungkapan prosa yang keluar dari lisan mereka baik ketika terjadinya percakapan maupun ketika melakukan orasi (khutbah), yang mereka lakukan secara spontan. Sedangkan natsr fanni adalah prosa yang diungkapkan dengan keindahan nilai-nilai sastra yang membekas ke dalam jiwa dan perasan.
Secara umum natsr Jahiliyyah terbagi ke dalam beberapa jenis diantaranya : al-Khutbah, al-Wasiyat, al-Hikmah, al-Matsal (Amtsal), dan ada juga ahli sastra Arab memasukan Saj’u Khuhan (mantera dukun) ke dalam pembagian jenis prosa Arab Jahiliyyyah.
Adapun karakteristik yang dimiliki Natsr Jahiliyyah antara lain kalimat yang digunakan ringkas, lafaznya jelas, memiliki kedalaman makna, bersajak (mengakhiri setiap kalimat dengan huruf yang sama), terkadang sering dipadukan dengan syi’r, amtsal dan yang lainnya.
2. Al-Amtsal (Pribahasa)
Pengertian Amtsal,
والأمثال هي جمل رصينة موجزة تشير إلى قصة أو حادثة يشبه بها حال الذى حكيت فيه بحال الذى قيلت لأجله
Amtsal adalah kalimat singkat yang diucapkan pada keadaan atau peristiwa tertentu, digunakan untuk menyerupakan keadaan atau peristiwa tertentu dengan keadaan atau peristiwa asal dimana matsal tersebut diucapkan.
Kata amtsal adalah bentuk jamak dari masalun dan mislun, yang mengandung arti bidal atau bandingan. Terdapat banyak arti kata masalun dan mislun yang dapat kita jumpai, misalnya persamaan, padanan, sederajat, sepangkat, sejalan (dengan), menurut kias, sama (dengan). Atau dalam terjemahan bahasa asing lainnya kita jumpai seperti simelar, equal dan analogous. Dalam sastra Indonesia amtsal ini sama dengan pribahasa atau pepatah.
Dalam sejarah Mesir Kuno banyak dikenal buku-buku bidal yang berisi pengajaran dan nasehat-nasehat dengan menggunakan kata-kata amtsal, misalnya: Al-Fallah al-Fasyih, Sibawaih dan Aibur. Koleksi buku-buku ini disebut Sifru al-Amtsal (Kitab Bidal/The Book of Proverbs). Di bawah ini terdapat beberapa contoh dari amtsal, di antaranya :
قبل الرمى تملأ الكنائن
“Sebelum memanah penuhi dahulu busur-busur”
Pribahasa di atas memiliki kesamaan dengan pribahasa “Sedia payung sebelum hujan” yang merupakan sebuah pesan agar sebelum bertindak kita haruslah mempersiapkan sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan.
ضعف الطالب والمطلوب
“Si peminta dan yang meminta lemah”
Pribahasa di atas merupakan sebuah ungkapan di waktu kita diminta seseorang agar membantunya berupa uang atau bantuan yang lain, pada kita sendiri tidak mempunyai uang atau bantuan yang dapat diberikan.
Diriwayatkan bahwa ada seorang Arab mengutus anaknya untuk mencari untanya yang hilang, namun anaknya tak kunjung pulang, maka pergilah sang ayah untuk mencari anaknya tersebut pada bulan haram, ditengah perjalanan ia bertemu dengan seorang pemuda dan menemaninya, sang pemuda tersebut kemudian berkata: beberapa waktu lalu aku bertemu dengan seorang pemuda dengan ciri-ciri begini dan begini dan aku rampas pedang ini darinya, sang ayah pun berfikir dan melihat pedang tersebut, barulah ia sadar bahwa pemuda inilah yang membunuh anaknya, sang ayah pun menebas pemuda tadi hingga mati, ketika masyarakat mengetahui hal tersebut mereka mengatakan ” mengapa kau membunuh di bulan haram, sang ayah berkata :
سبق السيف العذل
“pedangku telah mendahului celaan kalian.”
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu musim panas seorang lelaki tua menikahi gadis muda yang cantik jelita, lelaki tadi memiliki begitu banyak unta dan kambing yang senantiasa memproduksi susu. Akan tetapi wanita ini tidak mencantai lelaki tua itu dan meminta untuk diceraikan, maka merekapun bercerai. Wanita tadi akhirnya menikah dengan seorang pemuda yang tampan namun miskin, tidak punya kambing apalagi unta, pada musim dingin wanita tadi melihat sekawanan kambing milik lelaki tua mantan suaminya dan memohon agar diberikan susu dari kambing-kambing tersebut, namun lelaki tua itu menolak dan berkata :
الصيف ضيعت اللبن
“Musim panas yang lalu kau telah menyia-nyiakan susu yang aku beri”
Matsal di atas diucapkan kepada seorang yang telah menyia-nyiakan kesempatan dimasa lalu namun kini mengharapnya kembali.
3. Al-Hikam (Kata-Kata Mutiara)
Pengertian Hikam,
والحكم : قول موجز يشتمل على حكم صائب ورأى سديد.
“Hikam atau kata-kata mutiara adalah ucapan kalimat yang ringkas yang menyentuh yang bersumber dari pengalaman hidup yang dalam, di dalamnya terdapat ide yang lugas dan nasihat yang bermanfaat.”
Terkadang kata-kata mutiara juga terdapat di dalam sebuah syi’r sebagaimana banyak ditemukan di dalam Syi’r Zuhair bin Abi Sulma. Adapun di antara para penghikmah yang terkenal, antara lain : Qus bin Sa’idah dan Dzul Isba’ Al-‘Adwani. Di bawah terdapat beberapa contoh dari hikam atau kata-kata mutiara :
آفة الرأي الهوى
“Perusak akal sehat manusia adalah hawa nafsunya.”
مصارع الرجال تحت برو ق الطمع
“Kehancuran seorang lelaki terletak dibawah kilaunya ketamakan”
4. Al-Wasiat
Pengertian al-wasiat,
وهي كالخطابة, الكلام الذى يصدر من المرأة, لإبنـتها ومن الرجل لولده ومن الأمير لقواد جيشه ومن الحكيم لقومه, ويغلب ذلك عند الإحساس بالأجل أو العزم على الرحلة.
“Wasiat itu sama seperti khutbah yaitu ucapan atau pesan yang disampaikan oleh seseorang, baik dari orang tua kepada anaknya, dari pemimpin kepada anak buahnya, dari hakim kepada masyrakatnya. Biasanya wasiyat disampaikan oleh seseorang yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat atau seseorang yang hendak melakukan perjalanan”.
Wasiat memiliki banyak persamaan dengan khutbah hanya saja umumnya wasiat itu lebih ringkas. Di bawah ini adalah contoh wasiat yang disampaikan oleh Dzul Isba’ Al-‘Adwani kepada anaknya yang bernama Usaid. Diriwayatkan bahwa disaat Dzul Isba’ Al-‘adwani merasakan ajalnya ia memanggil anaknya Usaid, ia menasihati anaknya dengan beberapa nasihat demi mewujudkan kedudukan yang mulia ditengah manusia dan menjadikannya seorang yang mulia, terhormat dan dicintai oleh kaumnya. Ia berkata :
ألن جانبك لقومك يحبوك, وتواضع لهم يرفعوك, وابسط لهم وجهك يطيعوك, ولا تستأثر عليهم بشيء يسودوك,أكرم صغارهم كما تكرم كبارهم و يكبر على مودتك صغارهم, واسمح بمالك, و أعزز جارك وأعن من استعان بك, وأكرم ضيفك, وصن وجهك عن مسألة أحد شيئا, فبذلك يتم سؤددك
“Berlemah lembutlah kepada manusia maka mereka akan mencintaimu, dan bersikap rendah hatilah niscaya mereka akan mengangkat kedudukanmu, sambut mereka dengan wajah yang selalu berseri maka mereka akan mentaatimu, dan janganlah engkau bersikap kikir maka mereka akan menghormatimu. Muliakanlah anak kecil mereka sebagaimana engkau mencintai orang-orang dewasa diantara mereka, maka anak kecil tadi akan tumbuh dengan kecintaan kepadamu, mudahkanlah hartamu untuk kau berikan, hormatilah tetanggamu dan tolonglah orang yang meminta pertolongan, muliakanlah tamu dan selalulah berseri ketika menghadapi orang yang meminta-minta, maka dengan itu semua sempurnalah kharismamu.”
5. Khithobah (Orasi)
Senin, 13 April 2009 20:53:29 – oleh : admin
Pengertian khutbah atau orasi,
والخطابة هي كل كلام مؤثر يلقى على ملأ من الناس لإقناعهم بما فيه الخير لعامتهم فى حاضرهم ومستقبلهم.
Khithobah atau orasi adalah serangkaian perkataan yang jelas dan lugas yang disampaikan kepada khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting.
Adapun penyebab munculnya khithobah pada periode Jahiliyah antara lain : banyaknya perang yang terjadi antar kabilah, pola hubungan yang ada pada masyarakat Jahiliyyah seperti saling mengucapkan selamat, belasungkawa dan saling memohon bantuan perang, kekacauan politik yang ada kala itu, menyebarnya buta huruf, sehingga komunikasi lisan lebih banyak digunakan daripada tulisan, dan saling membanggakan nasab dan adat istiadat.
Ciri khas yang dimiliki oleh khithobah pada masa ini antara lain: penggunaan kalimat yang ringkas, lafaz yang jelas dan ringkas, makna yang mendalam, bersajak (berakhirnya setiap kalimat dengan huruf yang sama) dan terkadang sering terjadi perpaduan antara syi’r, hikmah dan matsal.
Khithobah memiliki peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat Jahiliyyah pada waktu itu. Bagi mereka khutbah merupakan alat komunikasi untuk menunjukkan kehebatan suatu kabilah atau menjadi semangat dalam sebuah peperangan antar kabilah. Adapun tempat-tempat yang biasa dipakai untuk berorasi antara lain:
1. Sebelum peperangan antar kabilah terjadi, dimana sang orator berdiri diatas kuda atau unta untuk memberikan semangat pada pasukannya agar dapat memenangkan peperangan.
2. Ketika munafarah, yaitu dimana seseorang membanggakan diri di depan orang lain, atau membanggakan satu kabilah dengan kabilah yang lain. Dalam keadaan ini sang orator akan berorasi didepan khayalak ramai untuk membanggakan kabilahnya.
3. Ketika berada di hadapan utusan raja atau amir, sang orator maju dihadapan para utusan tersebut dan berorasi untuk menyampaikan keinginan-keinginan mereka.
4. Ketika acara pernikahan, khutbah pada acara pernikahan ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab sejak dahulu yang hingga saat ini masih dipertahankan, sebagaimana yang dilakukan paman Nabi SAW, Abu Thalin ketika menikahkan Beliau SAW dengan Siti Khadijah.
Di antara para orator yang terkenal pada masa Jahiliyyah, antara lain : Aktsam bin Shaifi, Qus bin Sa’idah al-Iyady (sang orator Ukadz), Amr bin Ma’dayakiribah Al-Zabidy.
Di bawah ini terdapat contoh khutbah yang disampaikan oleh Hani’ Bin Qobishoh ketika terjadi peperangan Dzi-Qorin. Diriwayatkan bahwa Kisra ( Raja Persia ) memaksa Hani bin Qobishoh Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang dititipkan kepadanya oleh Nu’man ibnul Mundzir-salah seorang penguasa Irak-. Hani menolak permintaan tersebut demi menjaga amanah yang dititipkan kepadanya sehingga terjadilah perang antara tentara Persia dengan kabilah Bakr yang dipimpin oleh Hani, pertempuran tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat Bashrah di Irak yang bernama Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kabilah Bakr, sebelum pertempuran tersebut berlangsung Hani’ membakar semangat para pasukannya dengan perkataannya :
يا معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي من القدر, و إن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا أبا بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد
“Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang kalah secara terhormat lebih baik dari orang yang selamat kar’na lari dari medan juang, sesungguhnya ketakutan tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan Tuhan, dan sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara mulia, jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih baik daripada lari darinya, tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia dibanding tikaman dipunggung kalian, wahai kaum Bakr….. Berperanglah!!!! Karena kematian adalah suatu kepastian.. “
B. PUISI
1. Pengertian Syi’r
والشعر هو الكلام الموزن المقفى المعبر عن الأخيلة البديعة والصّور المؤثرة البليغة.
Syi’r adalah ungkapan atau ungkapan yang berwazan dan berqafiah yang mengungkapkan imajinasi yang indah dan bentuk-bentuk ungkapan yang mengesankan lagi mendalam (Zayyat, 1996: 25).
Para penyair pada zaman jahiliyah dianggap sebagai kaum intelektual. Mereka dianggap golongan orang yang paling tahu berbagai macam ilmu yang dibutuhkan bangsa Arab pada masanya. Yaitu pengetahuan tentang nasab, kabilah-kabilah dan ilmu lain yang mashur pada masa itu. Menurut Ahmad Amin (1933: 55) secara etimologi kata sya’ara sendiri berarti ‘alima (mengetahui). Seperti kalimat sya’artu bihi artinya alimtu. Dari sini dapat dipahami juga pada ayat berikut:
وَمَا يُشْعِرُكُمْ أَنَّهَا إِذَا جَاءَتْ لا يُؤْمِنُونَ.
“Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman”(QS. 6: 109).
Dalam kamus lisan al-Arab, kata sya’ara (شعر) dimaknai ilmu dan makrifah. Karena itu kata asy-sya’ir (الشاعر) artinya (العالم) wa asy-syua’ara’ artinya ulama. Kemudian kata syi’r berkembang menjadi sebuah istilah yang khusus, dalam al-lisan disebutkan:
و الشعر منظوم القول، غلب عليه لشرفه بالوزن و القافية، .
“Puisi itu merupakan rangkaian kata-kata, yang biasanya tersusun dalam bentuk wazan dan qafiyah”
Pada zaman jahiliyah para penyair adalah golongan masyarakat jahiliyah yang paling berilmu. Di samping golongan lain yang disebut dengan hukkam. Golongan ini memberi keputusan atas berbagai perselisihan antar anggota masyarakat dalam hal derajat dan nasab. Setiap kabilah memiliki satu hakim atau lebih, di antara hakim yang terkenal Aqsam ibn Saifi, Hajib ibn Zurarah, al-Aqra’ ibn habis dan Amir ibn Gharb. Secara intelektual mereka ini lebih tinggi dari para penyair akan tetapi secara imajinasi para penyair lebih luas dan lebih membekas. Sehingga bangsa Arab menyatakan bahwa :
إن الشعر ديوان العرب
“Sesungguh puisi itu merupakan diwan bangsa Arab”
Yang dimaksud dengan diwan di sini adalah catatan bahwa Syi’r mencatat berbagai hal tentang tata krama, adat istiadat, agama dan peribadatan mereka serta keilmuan mereka, atau dengan kata lain mereka mencatat tentang diri mereka sendiri dalam Syi’r. Dahulu para sastrawan menggunakan syair Arab jahiliyah untuk memahami berbagai perang dan memahami kepahlawanan, kedermawanan dan kelicikan yang digunakan untuk menciptakan Syi’r madah dan hija’ (Amin, 1933: 57).
Beberapa kumpulan diwan Arab jahiliyah adalah sebagai berikut: al-Mu’allaqat as-Sab’u yang dikumpulkan oleh Hammat ar-Rawiyah, al-Mufadhdholiyyat yang disusun oleh al-mufadhdhal adh-dhobiyyu terdiri dari 128 qasidah, diwan al-hammasah yang disusun oleh Abi Tamam yang berisi potongan-potongan syi’ir jahiliyah yang sangat banyak, al-Hammasah karangan al-Bukhturi, al-Aghani, asy-Syi’ru wa asy-Syu’ara’ karangan Ibnu Kutaibah, Mukhtarat Ibnu Sajary, Jamharotu Asy’aru al-Arab karangan Abu Zaid al-Kurasyi, Syi’r jahiliyah yang sampai kepada kita tidak lebih dari 150 tahun sebelum kenabian, hasil pengamatan kepada Syi’r Arab menunjukkan tema-temanya tidak variatif, maknanya tidak melimpah, Syi’r-Syi’r jahiliyah, qasidah dan musiqahnya serta iramanya satu, tasybih dan isti’arahnya sering terulang, miskin kreasi dan miskin variasi (Amin, 1933: 58).
Syi’r menjadi panglima kehidupan pada zaman jahiliyah, menjadi idola dalam seluruh bidang kehidupan. Berbagai momen kehidupan baik ritual keagamaan, sosial politik, perang dan perdagangan menggunakan Syi’r sebagai alat motivasi handal. Syukri Faishol menggambarkan dominasi Syi’r pada masa jahiliyah sebagai berikut :
كَانَ الشِعْرُ مِن الْاَثرةِ واَلطُغْيَان بِحَيْثُ كَانَ يَسْتبد بِكُلَّ مَجَالاَت الْقَوْل ، فَى الْحَرْب وَالْسِلْم وَفِيْ الفَخْر وَالْهِجَاء، وَفِي التَأَمّل الدِّيْنِي وَالتّفْكِيْر الْفَلْسَفِي، فِي هذِهِ جَمْيعًا كَانَت الْحَيَاة الْجَاهِلِيّة تَتَنَفَّس هذَا التَنَفُّس الْشِعْرِي…وَحَتَّى حِيْنَ يَكُوْن الْنَثْر أَحْيَانًا عَلَى أَلْسِنَة الْكُهَّان، كَانَ نَثْرًا مَسْجُوْعًا.
“Syi’r begitu dominan menguasai berbagai macam bentuk ungkapan di berbagai bidang dalam peperangan, dalam perdamaian seperti fakhr dan hija’ dalam penghayatan keagamaan, dalam pemikiran filosofis. Semua bidang tersebut pada masa jahiliyah tumbuh dalam suasana puitis, bahkan rotsa yang biasa digunakan para dukun-dukun jahiliyah pun bersajak sehingga dikenal dengan saja’ul-kuhhan. Hubungan antara keduanya begitu dekat dalam wazan dan qafiyahnya. Secara historis prosa liris tidak memiliki akar yang kuat dalam kehidupan jahiliyah tidak seperti jahiliyah, memiliki tradisi puitis dan memiliki sisi historis yang panjang. Yang menopang kekokohan keberadaannya dari segi produksi, sastrawan dan periwayatannya.” (Syukri Faishol, 1973: 351).
2. Awal Mula timbulnya Syi’r Arab
Sejarah mengenai awal mula Syi’r Arab merupakan sejarah yang sulit untuk menentukan batasannya. Akan tetapi para ahli sejarah sastra Arab berpendapat bahwa timbulnya Syi’r Arab telah lebih dahulu daripada prosa. Syi’r Arab Jahiliyyah yang sampai kepada kita saat ini hanya sebagian Syi’r yang pengumpulannya pada perang Busus sekitar 150 tahun sebelum Islam. Itupun tidak merupakan keseluruhan Syi’r yang dihasilkan bangsa Arab di masa tersebut. Sehingga Syi’r Jahiliyyah yang sampai kepada kita sekarang ini hanyalah sebagian kecil saja dari Syi’r Jahiliyyah yang dapat diselamatkan dari kepunahan.
Syi’r Jahiliyyah yang sempat dihapal oleh generasi yang datang di masa Islam akhirnya dicatat dan dibukukan dalam catatan-catatan pribadi, kemudian diajarkan kepada generasi berikutnya. Kemudian dari hapalan-hapalan tersebut lalu dikumpulkan oleh para pengumpul Syi’r, seperti Hammad Arrowy, Al-Asmaiy, Khallaf bin Amru dan Abu Bakar Hawarizmy. Merekalah yang mengumpulkan Syi’r yang masih ada pada suku Badui Arab. Karena suku Badui sangat terkenal dalam kekuatan hapalannya untuk menjaga adat istiadat dan hasil karya nenek moyang mereka. Selanjutnya, hasil karya sastra Arab yang telah dibukukan, kelak akan dijadikan sandaran bahasa Arab oleh para ahli linguistik Arab, ahli balaqhah, dan juga para penyair Islam yang datang di masa sesudahnya.
Mengenai sejarah awal mula timbulnya Syi’r Arab Jahiliyyah, sosok Muhalhil bin Rabiah Attaghliby dianggap sebagai orang pertama yang menciptakan Syi’r Arab. Hal ini dikarenakan dari sekian banyak Syi’r Arab yang ditemukan hanyalah sampai pada zaman Muhalhil, dan dari sekian banyak Syi’r Muhalhil yang dapat diselamatkan hanya sekitar 30 bait saja.
Anggapan bahwa Muhalhil adalah perintis pertama dalam menciptakan Syi’r Arab, bukan berarti bahwa permulaan timbulnya Syi’r Arab itu dimulai dari zaman Muhalhil. Bahkan jauh sebelum zaman Muhalhil, Syi’r Arab telah ada, hanya saja Syi’r Arab kuno yang ada sebelum zaman Muhalhil telah lenyap. Pendapat ini dikuatkan oleh Umru’ Al-Qais yang menyatakan bahwa sebelum zaman Muhalhil, bangsa Arab telah mengenal Syi’r.
عوجا على الطّلل المحيل لأننا # نبكى الدّيار كما بكى ابن خذام
Mari kita kembali (mengenang) kepada puing-puing yang runtuh, karena kami akan mengenang (menangisi) kembali kekasih yang telah pergi, seperti yang telah dilakukan oleh Ibnu Al-Huzama.
Bait syi’r di atas memberikan penerangan kepada kita bahwa segala apa yang dilakukan penyair yang ada pada masa Jahiliyyah hanyalah sebuah tiruan atau pengulangan dari yang telah dilakukan oleh penyair masa sebelumnya. Pendapat Umru’ Al-Qais ini dikuatkan oleh pendapat Zuhair bin Abi Sulma dalam bait syi’rnya di bawah ini
ما ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا
Apa yang kami ucapkan waktu ini, tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau ulangan dari ucapan syair di masa lampu.
Dari kutipan-kutipan syi’r di atas dapatlah kita ketahui bahwa sejak sebelum Masehi, bangsa Arab telah mengenal syi’r, hanya saja karya mereka telah lenyap dimakan waktu. Adapun Muhalhil hanyalah sebagai seorang penerus atau perintis syi’r Arab Jahiliyyah.
3. Pembagian Jenis-jenis Syi’r dan Tujuannya
Bahasa Arab pada zaman Jahiliyah ada dua bentuk prosa dan syair. Prosa berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi kedudukannya tidak lebih tinggi dari syair, sehingga prosa ini kurang mendapat tempat dihati orang-orang Arab, anggapan mereka bahwa prosa tidak mengandung unsur keindahan dan seni dalam mengungkapkan apa yang hendak mereka ungkapkan. Lain lagi halnya dengan syair, bangsa Arab mempunyai ketajaman dalam menilai bahasa, keindahan dalan berucap yang senantiasa disatukan dengan perasaan yang sangat halus yang merela miliki, sehingga mereka mampu berimajinasi dengan sangat tinggi. Faktor inilah yang menjadi modal dasar bangsa Arab untuk menggugah syair yang indah dengan berbagai tujuannya sesuai dengan apa yang sedang bergejolak dalam jiwanya. Karna menurut pandangan bangsa Arab syair merupakan puncak keindahan dalam sastra mereka dibanding dengan hasil sastra lainnya.
Syair -syair yang mereka lantunkan dapat memukau dan mempengaruhi jiwa sipendengarnya, sehingga sudah menjadi tradisi dan kebiasaan orang Arab untuk selalu menghafalkan apa yang telah mereka dengar sampai benar-benar hafal. Kemudian syair-syair itu diajarkan kepada anak cucunya atau kerabat dalam kabilah itu sehingga sampai kepada beberapa generasi berikutnya. Peran dan fungsi bahasa pada zaman Jahiliyah sangatlah sederhana seirama dengan kesederhanaan letak geografisnya, ketandusan wilayahnya yang menyebabkan mereka tidak dapat bertani, dan jalannya perdagangan sangat sulit dan rumit akibat daerah yang satu dengan yang lainnya sangat berjauhan, dan juga peperangan antar suku kerap terjadi. Hal seperti inilan membuat bahasa mereka sangat sederhana.
Adapun puisi (Syi’r) terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi’r al-Ginai dan asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi. Asy-Syi’r al-Ginai merupakan puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Adapun asy-Syi’r al-Hikami atau asy-Syi’r at-Ta’limi adalah puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran.
Menurut Syauqi Dhaif (2001: 196) yang pertama kali melakukan tipologi tema Syi’r Arab dan membukukannya adalah Abu Tamam (w. 232 H). Abu Tamam membagi tema Syi’r Arab dalam 10 (sepuluh) tema yaitu Hammasah, Maratsi, Adab, Nasib, Hija`, Adyaf, Madih, Sifat, Sair, Nu’as, Milh, Mazammatu Nisa`. Tema-tema tersebut tidak teratur kadang Adyaf masuk dalam kategori madih, kadang masuk ke hammasah dan kadang masuk ke fakhr. Sedang tema siar dan nu’as masuk kepada tema sifat sebagaimana Madzammatun Nisa’ masuk ke Hija’ dan al-Milh sering tidak jelas maksudnya. Qudamah dalam bukunya Naqdu asy-Syi’ri membagi tema Syi’r Arab menjadi enam, yaitu madih, hija’, nasif, maratsi wa al-wasfu wa at-tasybih. Kemudian dia mencoba untuk meringkasnya saja menjadi dua bab saja yaitu bab madah dan hija’. Ibnu Rasyiq membagi menjadi sepuluh dalam bukunya al-’Umdah yaitu an-nasib, al-madih, al-iftikhar, ar-ritsa, al-iqtidho’, al-istinjas, al-’itab, al-wa’id, al-indzar, al-hija’ dan al-i’tidzar. Sedangkan Abu Hilal al-’Askary mengatakan sebetulnya Syi’r Arab jahiliyah itu dibagi menjadi lima yaitu: al-madih, al-hija’, al-wasf, at-tasybih dan al-miratsi. Sampai kemudian an-Nabighah menambahkan satu tema yaitu al-i’tidzar. Sesungguhnya ini adalah pembagian yang baik akan tetapi Abu Bakar al-Asy’ari melupakan satu tema yaitu al-hammasah, padahal tema ini yang paling banyak digunakan oleh orang Arab jahiliyah.
Dalam hal ini, jenis Syi’r Arab jahiliyah menurut tujuannya terbagi menjadi beberapa macam, sesuai bentuk dan warnanya yang berlainan antara yang satu dengan yang lain, yang semuanya mewarnai corak yang sesuai dengan tujuannya masing-masing.
a. Tasybih/ghazal ialah suatu bentuk puisi yang di dalamnya menyebutkan wanita dan kecantikannya, Syi’r ini juga menyebutkan tentang kekasih, tempat tinggalnya dan segala apa saja yang berhubungan kisah percintaan. Seperti Syi’r A`sa ketika tidak tega ditinggal kekasihnya Harirah:
غَرَّاءٌ فَرْعَاءْ، مَصْقُوْلٌ عَوَارِضُهَا # تَمْشِى اْلهُوَيْنىَ كَمَا يَمْشِى اْلجى الوحل
كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مِنْ بَيتِ # جَارَتِها مَرّ السَحَابَةِ لا رَيْثٌ و لا عَجَل
Seolah-olah jalannya dari rumah tetangganya
Seperti jalannya awan tidak lambat dan tidak juga cepat
Atau Syi’r Imru al-Qais menggambar keindahan Unaizah (kekasihnya) dalam bait Syi’rnya seperti di bawah ini:
فَلَمَّا أَجَزْنَا سَاحَةُ الحَيِّ وَ انْتَحَى بِنَا بَطْنُ خَبْْتٍ ذِى حِقَافٍ عَقَنْقَلِ
هَصَرْتُ بِفَوْدَىْ رَأْسِهَا فَتَمَايَلَتْ عَلَىَّ هَضِيْمَ الكَشْحِ رَياَّّ المُخَلْخَلِ
مُهَفْهَفَـةٌ بَيْضَـاءُ غَيْرُ مُفَاضَةٍ تَرَائِبـُهَا مَصْقُوْلَةٌ كاَلسَّجَنْجَـلِ
وَجِيْدٍ كَجِيْدِ الرِّئْمِ لَيْسَ بِفَاحِشٍ إِذَا هِـيَ نَصَّتـْهُ وَلاَ بِمُعـَطَّلٍ
وَ فَرْعٍ يَزِيْنُ الْمَتْنَ أَسْوَدَ فَاحِمٍ أَثِيـْثٍ كَقَنْـوِ النَّخْلَةِ الْمُتَعَثْكِلِ
Ketika kami berdua telah lewat dari perkampungan, dan sampai di tempat yang aman dari intaian orang kampung
Maka kutarik kepalanya sehingga Ia (Unaizah) dapat melekatkan dirinya kepadaku seperti pohon yang lunak
Wanita itu langsing, perutnya ramping dan dadanya putih bagaikan kaca
Lehernya jenjang seperti lehernya kijang, jika dipanjangkan tidak bercacat sedikit pun, karena lehernya dipenuhi kalung permata
Rambutnya yang panjang dan hitam bila terurai di bahunya bagaikan mayang kurma. (Al-Zauziny, 16-17 dan Al Muhdar, 1983: 48).
b. Hammasah/Fakher, jenis Syi’r ini biasanya digunakan untuk berbangga dengan segala macam kelebihan dan keunggulan yang dimiliki oleh suatu kaum. Pada umumnya Syi’r ini digunakan untuk menyebutkan keberanian dan kemenangan yang diperoleh. Seperti Syi’r Rasyid ibn Shihab al- Yaskary yang menantang Qais ibn Mas`ud al-Syaibany di Pasar Ukaz;
وَلاَ تُوعِدنِّى إنـنى إن تـلاَقنى معى مَشْـرِفِىُّ في مضاربـه قَضَمْ
و ذمٌّ يُغَشِّى المرءَ خِزْياً و رهطه لدى السَّرْحة العَشَّاء في ظلها الأَدَمْ
Jangan mengancamku, sungguh bila kau menemui aku
Bersamaku pedang tajam dengan darah yang terus mengalir karena sayatannya
Dan celaan yang membuat pingsan korbannya karena malu dan hina
Disaksikan berbagai kabilah di bawah pohon (di pasar Ukaz) di Qubab Adam (Dhaif, 2001: 200).
c. Madah, Bentuk Syi’r ini digunakan untuk memuji seseorang dengan segala macam sifat dan kebesaran yang dimilikinya seperti kedermawanan dan keberanian maupun ketinggian budi pekerti seseorang. Seperti Syi’r Nabighah ketika memuji raja Nu`man:
فَإِنَّكَ شَمْسٌ وَ الْمَلُوكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri (Mursyidi, 97).
Atau seperti Syi’r A`sya ketika memuji kedermawanan Muhallik:
تَرَى الْجُوْدَ يَجْرِى ظَاهِرًا فَوْقَ وَجْهِهِ # كَمَا زَانَ مَتْنَ الْهِنْدُوَانِى رَوْنَقُ
يَدَاهُ يَدَا صِدْقٍ: فَكَفٌّ مُبِيْدَةٌ # وَ كَفٌّ إِذَا مَا ضُنُّ بِالمَالِ يُنْفَقُ
Kamu lihat kedermawanan di wajahnya seperti pedang yang berkilauan.
Kedua tangannya selalu benar, yang satu untuk membinasakan sedang yang lain untuk berderma (Al-Iskandary, 1978: 82-83).
Syi’r ini ditulis oleh an-Nabighah untuk memuji kaum Ghassasinah, khususnya kepada raja Amru ibn al-Harits al-Ghassany.
لَهُمْ شِيْمَةٌ لَمْ يُعْطِهَا اللهُ غَيْرَهُمْ مِنَ اْلجُوْدِ، وَاْلأَحْلاَمِ غَيْرَ عَوَازِبِ
رِقَافَ النِّعَالِ، طَيِّبٌ حُجُزَاتُهُمْ يُحَيَّوْنَ بِالرَّيْحَانِ يَوْمَ السَّبَاسِبِ
وَلاَ يَحْسَبُوْنَ اْلخَيْرَ لاَ شَرَّ بَعْدَهُ وَلاَ يَحْسَبُوْنَ الشَّرَّ ضَرْبَةَ لاَزِبِ
Mereka (kabilah Ghassan) memiliki sifat kedermawanan, dan cara berfikir cemerlang yang tidak diberikan oleh Allah kepada yang lain
Sandalnya halus, selalu mengendalikan diri, semua manusia menghormati mereka dengan wangi-wangian pada hari raya sabasib
Mereka sangat berpengalaman, kebaikan tidak melupakan mereka dari kesengsaraan-kesengsaraannya, demikian juga musibah dan penderitaan tidak membuat mereka berputus asa. (Mursyidi, t.t.:90).
Ini adalah Syi’r Khansa` yang sangat bangga pada saudaranya Shakhr
يُـؤَرِّقُنِى التَّذَكُّـرُ حِيْنَ أُمْسِى فَأُصْبِحُ قَدْ بُلِيْتُ بِفَرْطِ نَكْسٍ
عَلَى صَخْرٍ، وَ أَيُّ فَتًى كَصَخْرٍ لِيَوْمِ كَرِيْهَةٍ وَ طِعَانِ خَلَسِ ؟
فَلَـمْ أَرَ مِثْـلَهُ رُزْءًا لـِجِنٍ وَ لمَ أَرَ مِثـْلَهُ رُزْءًا لإِنْـسِ
أَشَدُّ عَلَى صُرُوْفِ الدَّهْرِ أَيْدًا وَ أَفْضَلُ فِي الخُطُوْبِ بِغَيْرِ لِبْسِ
وَ ضَيْـفٍ طَارِقٍ، أَوْ مُسْتَجِيْرٍ يُـرَوِّعُ قَلْبُهُ مِنْ كُلِّ جَـرْسِ
فَأَكْرَمَـهُ، وَ أَمَّنـَهُ، فَأَمْسَى خَلِيًـا بَـالُهُ مِنْ كُلِّ بُـؤْسِ
Setiap malam aku tersiksa oleh ingatanku
Dan di pagi hari kudapati diriku yang kemarin sembuh sakit kembali
Karena ingatanku kepada Sakhr, adakah pemuda yang seperti Sakhr Pada saat terjadi peperangan dan tebasan pedang bagai kilatan cahaya
Dan tak pernah kulihat musibah mengerikan itu yang menimpa jin
Juga tak pernah kulihat musibah sepertinya yang menimpa manusia
Lebih dahsyat dari bala’ yang menimpa dunia sepanjang masa
Peristiwa yang luar biasa dan tidak orang yang bisa memungkirinya.
Setiap datang pengetuk pintu atau datang orang yang meminta perlindungan selalu menggetarkan hatinya, maka dia akan memuliakannya dan akan melindunginya.
Dan ketika datang malam hari hatinya menjadi tenteram dari segala kesialan.
d. Rotsa’, jenis Syi’r ini digunakan untuk mengingat jasa seorang yang sudah meninggal dunia. Seperti Syi’r Khansa` yang sangat terkenal dengan rangkaian Syi’r ratsa`nya;
يُذَكِّرُنِى طُلُوْعُ الشََّمْسِ صَخْرًا وَ أَذْكُرُهُ لِكُلِّ غُرُوْبِ شَمْسَ
فَلَوْلاَ كَثْـرَةُ البَـاكِيْنَ حَوْلِى عَلَى إِخْوَانِـهِمْ لَقَتَلْتُ نَفْسِى
Aku selalu teringat Sakhr, aku teringat padanya setiap matahari terbit.
Dan aku teringat padanya ketika matahari terbenam.
Aku teringat padanya antara keduanya.
Ingatanku padanya tidak bisa hilang.
Kalau bukan karena aku melihat banyak orang yang menangisi mayat-mayat saudaranya yang mati, mungkin aku sudah bunuh diri.
Juga Syi’rnya yang menggambar kesedihannya yang luar biasa sampai melupakan suaminya;
ألم وزهد في الحياة
فَلاَ وَ اللهِ لاَ أَنْسَاكَ، حَتَى أُفَارِقَ مُهْجَتِى وَ يُشَقَّ رَمْسِي
فَقَدْ وَدَّعْتُ يَوْمَ فِرَاقِ صَخْرِ أَبِى حَسَّانَ، لَذَّاتِي وَ أُنْسِي
فَيَالَهْفِي عَلَيْهِ وَ لَهْفَ أَمِّي أَيُصْبِحُ فِي التُرَابِ وَفِيْهِ يُمْسِى
Aku bersumpah demi Allah aku tidak akan melupakanmu sampai maut memisahkan diriku
Aku tinggalkan sejak aku berpisah dengan Shakhr,
Abi Hasan untuk diriku dan aku melupakannya
Aku merindukannya dan juga ibuku merindukannya
Apa dia telah menjadi tanah dan didalamnya dia berada.(Al-Maliji, 1989: 38-39).
e. Hijaa’, jenis puisi ini digunakan untuk mencaci dan mengejek seorang musuh dengan menyebutkan keburukan orang itu. Seperti Syi’r Zuhair yang mengancam al-Harits ibn Warqa` al-Asady yang merampas unta keluarganya. Warqa` terpaksa mengembalikan untanya yang dirampasnya.
لَيَأْتِـيـَنَّكَ مِنِّى مَنْطِقٌ قَذِعٌ بَاقٍ كَمَا دَنَّسَ اْلقُبْطِـيَّةَ الوَدَكُ
Kamu akan mendapatkan hujatan pedas yang mematikan dariku
Tidak akan bisa hilang seperti baju putih yang terkena lemak
(Dhaif, 2001: 197).
Atau seperti Syi’r Juhannam yang mengejek A`sya dengan menghina bapak dan pamannya.
أَبُوْكَ قَتِيْلُ الْجُوْعِ قَيْسُ بْنُ جَنْدَلٍ وَخَالُكَ عَبْدٌ مِنْ خُمَاعَةَ رَاضِعُ.
Bapakmu mati karena kelaparan (korban kelaparan) Qais ibn Jandal
Dan pamanmu hamba dari kabilah Khuma’ah yang rendahan (Dhaif, 2001:335).
f. I’tidzar, Jenis puisi ini digunakan untuk mengajukan udzur dan alasan dalam suatu perkara dengan jalan mohon maaf dan mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Syi’r ini dibuat oleh A’sya untuk meminta maaf kepada Aus ibn Lam (dari kabilah Thayyi’) yang sebelumnya dia ejek dengan Syi’r hija’nya
وَإِنِّى عَلىَ مَا كَانَ مِنّىِ لَنَادِمٌ وَإِنّىِ إِلَى أَوْسْ بِنْ لاَمٍ لَتَائِبُ
وَإِنِّى إِلَى أَوْسْ لَيَقِيْلُ عِذْرَتِى وَيُصَفِّحُ عَنىِّ- مَا حَيِيْتُ- لَرَاغِبُ
فَهَبْ لِى حَيَاتِى فَاْلحَيَاةُ لَقَائِمٌ بِشُكْرِكَ فِيْهَا، خَيْرُ مَا أَنْتَ وَاهِبُ
سَأَمْحُو بِمَدْحٍ فِيْكَ إِذْ أَناَ صَادِقٌ كِتَابُ هِجَاءٍ سَارَ إِذْ أَنَا كَاذِبُ
Sesungguhnya aku menyesal atas apa yang telah aku lakukan dan aku mohon ampunan kepada Aus ibn Lam, dan aku mohon ampunan dari Aus dan menghapus segala kesalahanku adalah keinginanku, berilah aku kehidupan dan kehidupan akan terjaga dengan kesyukuranku kepadamu dan pemberianmu adalah yang terbaik aku akan menghapus kesalahanku dengan pujian kepadamu dan ini adalah pengakuan yang jujur sedangkan ejekan kepadamu yang lalu sebenarnya adalah bohong (Al-Iskandary, 1978: 55).
Atau seperti Syi’r Nabighah yang terkenal dengan Syi’r i`tidzariyatnya, memohon maaf kepada raja Nu`man.
وَ لَكِنَّنِى كُنْتُ امْرَأً لِىَ جَانِبٌ مِنَ الأَرْضِ فِيْهِ مُسْتَرَادٌ وَ مَذْهَبُ
مَلُوْكٌ وَ إِخْوَانٌ إِذَا مَا أَتَيْتَهُمْ أُحَكَّمُ فِي أَمْوَالِهِمْ ، وَ أَقْرَبُ
كَفِعْلِكَ فِي قَوْمٍ أَرَاكَ اصْطَنَعْتَهُمْ فَلَمْ تَرَهُمْ فِي شُكْرِ ذَلِكَ أَذْنَبُوْا
فَلاَ تَتْرُكَنِّى بِالوَعِيْدِ، كَأَنَّنِى إِلَى النَّاسِ مَطْلِىٌ بِهِ القَارُ أَجْرَبُ
أَلمَْ تَرَ أَنَّ اللهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةً تَرَى كُلَّ مَلْكٍ دُوْنَهَا يَتَذَبْذَبُ
فَإِنَّكَ شَمْسٌ، وَ المَلُوْكُ كَوَاكِبٌ إِذَا طَلَعَتْ لمَ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
وَ لستَ بِمُسْتَبْقٍ أَخًا لاَ تَلمُّهُ عَلَى شَعَثٍ، أَى الرِّجَالِ المُهَذِّبُ؟
Tetapi sesungguhnya aku adalah orang yang punya tempat alternatif lain
Di bumi di mana aku mengais rizki dan tempat melarikan diri
Yaitu para raja dan teman-teman, yang jika aku datang pada mereka
Aku bisa menggunakan harta mereka semauku, dan mendekatkan diri
persis seperti apa yang kamu lakukan pada kaum yang kamu beri berbagai limpahan dan ternyata ketika mereka tidak bisa bersyukur, maka hal itu bagimu mereka telah berdosa
Jangan kau biarkan aku dalam ancamanmu, sehingga karena ancamanmu
aku seolah-olah dilumuri ramuan kudis, semua orang menjauh dariku karena takut ancamanmu
Tidakkah kau tahu bahwa Allah telah menganugerahkan kepadamu kedudukan yang tinggi, yang raja-raja selain kamu tidak mampu menyandangnya.
Kamu adalah matahari sedang raja yang lain adalah bintang
Apabila matahari terbit maka bintang-bintang yang lain tidak mampu menunjukkan diri.
Kamu tidak mungkin menemukan saudara yang tidak kamu cela karena kesalahan kecil.
Apakah mungkin ada orang yang tanpa cela (Mursyidi, t.t.: 95-97).
g. Wasfun, Jenis Syi’r ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu kejadian ataupun segala hal yang menarik seperti menggambarkan jalannya peperangan, keindahan alam dan sebagainya. Kebanyakan para penyair jahiliyah adalah orang Badui yang begitu menyatu dengan kehidupan alamnya. Sehingga begitu terpengaruh dengan lingkungannya. Mereka mengambarkan dalam Syi’rnya tentang padang pasir, langit, bintang, angin, hujan, tenda-tenda perkemahan, puing-puing perkampungan, tempat-tempat bermain anak-anak dan unta, tentang kuda dan ciri-cirinya, perjalanan, peperangan, alat-alat perang, perburuan dan peralatannya, hal ini terlihat jelas pada Syi’r-puisnya Imru’ul Qais. Imru al-Qais menggambarkan kudanya dengan ungkapan yang begitu indah;
وَقَدْ أَغْتَدِى وَالطَّيْرِ فِى وُكُنَاتِهَا بِمُنْجَرِدٍ قَيْدِ, الأَوَابِدِ, هَيْكَلِ
مُكِرٍّ مُفِرٍّ, مُقْبِلٍ, مُدْبِرٍ مَعًا كَجَلْمُوْدِ صَخْرٍ حَطَّهُ الِسيْلِ مِنْ عَلِ
يَزِلُّ الغُلاَمُ الجِفُّ عَنْ صَهَوَاتِهِ وبلْوى بِأَنْوَابِ العَنِيْفِ المُثَقَّلِ
لَهْ أيْطَلاَ ظَبْى, وَسَاقَا نَعَامَةٍ وَإِرْخَاءِ سِرْحَانٍ, وَتَقْرِيْبُ تَنْفَلِ
Pagi-pagi aku sudah pergi berburu saat itu burung-burung masih tidur disangkarnya
Mengendarai kuda yang bulunya pendek besar larinya cepat mampu mengejar binatang buas yang sedang berlari kencang
Maju dan mundur bersamaan secepat kilat seperti hanya satu gerakan
Seperti batu besar yang runtuh terbawa banjir dari tempat tinggi
Pemuda yang kurus akan kesulitan duduk di pelananya
Sebagaimana orang yang kasar dan besar juga akan kerepotan merapikan bajunya
Pinggangnya seperti pinggang beruang, kakinya panjang dan keras seperti kaki burung Unta
Kalau berlari ringan seperti larinya kijang, apabila berlari kencang mengangkat kedua kaki depannya bagai larinya serigala liar (Mursyidy, t.t.: 75-77).
h. Hikmah: puisi ini berisi pelajaran kehidupan yang terkenal pada zaman jahiliyah Seperti Syi’rnya Labid,
اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ مَا خَلاَ اللهِ بَاطِلُ وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لاَ مَحَالَةَ زَائِلُ
وَ كُلُّ أُناَسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ دويهية تَصْفَرُّ مِنْهَا الأَنَامِلُ
وَ كُلُّ امْرِئٍ يَوْمًا سَيَعْلَمُ غَيْبَهُ إِذَا كُشِفَتْ عِنْدَ الالَهِ الْحَصَائِلُ
Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap
dan setiap kenikmatan pasti akan sirna.
Setiap orang pada suatu saat pasti akan didatangi oleh
maut yang memutihkan jari-jari.
Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan tahu amalannya
jika telah dibuka catatannya di sisi Tuhan (Al-Iskandary, 1978: 88-89).
Juga Syi’rnya Zuhair yang luar biasa:
رَأَيْتُ الْمَنَايَا خَبْطَ عَشْوَاء مَنْ تُصِبْ تُمِتهُ وَ مَنْ تُخْطِئْ يُعَمَّرْ فَيَهْرَمِ
وَ مَنْ يَجْعَلِ المَعْرُوْفَ مِنْ دُوْنِ عِرْضِهِ يَفْرْهُ وَ مَنْ لاَ يَتَّقِ الشَّتْمَ يُشْتَمِ
وَ مَنْ يُوْفِ لاَ يُذْمَمْ وَ مَنْ يُهْد قَلْبُهُ إِلَى مُطْمَئِنِّ البِرِّ لاَ يَتَجَمْجَمِ
وَ مَنْ هَابَ اَسْبَـابَ المَنَايَا يَنَلْنَـهُ وَ إِنْ يَرْقَ اَسْبَابَ السَّمَاءِ بِسُلَّمِ
Aku lihat maut itu datang tanpa permisi dulu, siapa yang didatangi pasti mati dan siapa yang luput dia akan lanjut usia.
Siapa yang selalu menjaga kehormatannya maka dia akan terhormat dan siapa yang tidak menghindari cercaan orang, maka dia akan tercela.
Siapa yang menepati janji tidak akan tercela, siapa yang terpimpin hatinya maka dia akan selalu berbuat baik.
Siapa yang takut mati pasti dia akan bertemu juga dengan maut walaupun dia naik ke langit dengan tangga (melarikan diri) (Az-Zauzini, tt.: 73-76 dan Al Muhdar, 1983: 55-56).
siipz.. terima kasih ya kak , karena kurang nya referensi kami blog yang anda tulis sangat pembantu kami.mungkin jika kakak punya beberapaa kajian penelitian sastra bisa d share lah kak ,thanks
BalasHapusterima kasih blognya.. sengat bermamfaat, semoga sukses terus.
BalasHapus